Selasa, 16 September 2008

Indonesia keluar dari OPEC atas pertimbangan Geopolitik “ Energy Security”



" Indonesia, the only South East Asian member of the Organization of Petroleum Exporting Countries, became a net crude-oil importer early this year after domestic production fell sharply following several years with little fresh investment in exploration and production."

President Republic of Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono said on Wall Street Journal ( October 5, 2005 )


Setelah tertunda tunda sejak pemerintah mengumumkan kenaikan harga minyak yang untuk kedua kalinya pada tanggal 1 oktober, 2005 ,akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan untuk segera keluar dari OPEC begitu pengumuman kenaikan harga BBM bulan Mei 2008. Langkah yang diambil ini, meskipun agak terlambat,merupakan keputusan yang strategis dan dinilai sangat tepat. Terkecuali perpanjangan kontrak ladang minyak Cepu untuk dikelola oleh Pertamina,Untuk kesekian kalinya bahwa Presiden SBY telah mengambil keputusan yang berkaitan langsung dalam konteks prespektif geopolitik energi Indonesia, diantaranya :

  1. Tidak menghendaki kerjasama Indonesia dengan Malayasia dalam hal blok migas , Ambalat. Blok Ambalat merupakan bagian dari wilayah Indonesia

  2. Tidak menyetujui Defence Cooperation Agreement. (DCA) antara Republik Indonesia dengan Singapura. Wilayah yang dikehendaki oleh Singapura merupakan kandungan migas dan jalur transportasi migas(SLOC).

  3. Tidak memperpanjang kontrak ladang migas antara Pertamina dan ,Exxonmobil di Laut Natuna. Kandungan gas alam dikawasan ini sebesar 46,7tcf

  4. Tidak lagi menyebutkan cadangan minyak Indonesia akan habis 18 tahun lagi, setelah bertahun tahun dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sejak tahun 1988.

  5. Menegaskan kembali untuk keluar dari OPEC.

Seluruh keputusan strategis ini tidak lain untuk mengutamakan kepentingan nasional Indonesia dalam menghadapi era globalisasi dan juga menghadapi konstelasi tatanan dunia baru pada abad 21. Hal ini juga sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Deep Stoat dalam kajian strategisnya untuk negara negara maju yang selalu menempatkan aspek minyak sebagai agenda kepentingan nasional dengan mengatakan : “ If you would understand world geopolitics today,follow the OIL” .Untuk memperkuat pernyataan tersebut dan mendapat gambaran bagaimana faktor geopolitik energi yang menentukan kebijakan suatu Negara,kiranya dapat dilihat juga pada diagram yang dikeluarkan oleh National Petroleum Council,Amerika Serikat.

Sumber : NPC
Terlihat pada diagaram tersebut,ada tiga komponen utama untuk menetapkan suatu kebijakan politik yang berkaitan dengan energi antara lain : ,Supply,Demand, dan Technology.Ketiga komponen ini saling keterkaitan satu sama lain(interchange) dengan landasannya kondisi geopolitik yang mempunyai peran sangat sentral dan strategis.Untuk mendapatkan penjelasan teoriteori dasar geopolitik , kiranya dapat dikutip dari pencetusnya yaitu Professor Friedrich Ratzel(1844-1904), German Professor Rudolf Kjellen (1864-1922), SwedishSir Halford Mackinder (1861-1946) British Dari ketiga tokoh geopoitik tersebut dimana masing2 mempunyai penekanan teorinya,namun pada intinya terdapat persamaan esensi yang dapat diringkas sebagai berikut :

It must be regarded as a science bordering on geography, history,political science and international relations. The politician,the military planner and the diplomat can use geopolitics as a method to analyze how geographical factors can be of importants when planning.Geopolitics as the destiny

Kondisi geografis Indonesia,diantaranya sumber minyak mentah, sejak memasuki tahun 2004 sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negri sendiri.Meskipun masih tersedia potensi cadangan energi fosil yang begitu besar,namun dalam hal liquid energi,termasuk gas alam mengalami deficit.

OPEC

Alasan yang mendasar dibentuknya OPEC itu untuk menstabilkan permintaan dunia atas minyak mentah dan kemudian pada tahun 1971 menyatukan penggunaan mata uang dollar untuk transaksi minyak. Seiring dengan permintaan dunia yang terus meningkat,OPEC sudah tidak dapat lagi berperan sebagai stabilisator. Seluruh dunia hanya tergantung kepada perannya Arab Saudi yang mempunyai kapasitas produksi 9,5 juta bph dan itupun masih memiliki kapasitas tambahan produksi sampai 2 juta bph.

Meskipun Indonesia sebagai anggota OPEC ,pada kenyataannya juga selalu tidak dapat mengantisipasi naiknya harga minyak yang sempat menyentuh US$ 138 per barel. Pemerintah selalu hanya bisa terkejut kejut seperti halnya negara negara pengimpor minyak lainnya. Dengan menggunakan data dari OPEC tahun 2005 dibawah ini,memperlihatkan posisi kapasitas produksi dari masing masing negara anggota. Berdasarkan pengamatan data dibawah ini,kiranya dapat disimpulkan bahwa anggota OPEC dapat dibagi menjadi empat katagori :

  1. Negara yang memproduksi secara maksimal,bahkan sudah tidak peduli lagi dengan ketentuan kuota al;Libya,Algeria,Iran,Kuwait,Nigeria dan Qatar,

  2. Negara dengan kapasitas dibawah kuota; Venezuela.

  3. Negara yang masih mempunyai surplus kapasitas produksi diluar batas ketentuan kuota seperti United Arab Emirates dan Arab Saudi.

  4. Negara dengan katagori special case seperti Irak dan Indonesia. Irak yang posisinya sudah tidak lagi masuk dalam kuota,sementara Indonesia merupakan negara satu satunya yang sudah menjadi net oil importer.



Salah satu media cetak terkemuka didunia dalam hal pemberitaan industri migas ,Oil & Gas journal dalam Enews pada tanggal 31 Oktober,06 memberikan suatu analisa produksi minyak dari anggota OPEC. Diberitakan bahwa, Arab Saudi, Iran,Aljazair dan United Arab Emirates (UAE) sepakat mulai tanggal 1 November,06 untuk mengurangi produksi secara proposional sampai 1.2 juta barel per hari (bph) agar output produksi OPEC menjadi 26.3 juta bph. Pertimbangan pengurangan produksi ini dikarenakan adanya kecenderungan penurunan harga minyak yang sangat drastis dari US$75 per barel menjadi US$ 58 per barel. Dari sini terlihat jelas sekali bahwa negara OPEC,khususnya di kawasan Heartland memang menghendaki agar harga minyak kembali berada pada sekitar diatas US$ 60 per barel. Yang menarik dari laporan jurnal tersebut yakni adanya pernyataan yang mengatakan Indonesia tidak akan mengurangi produksinya.sedangkan negara anggota lainnya seperti, Venezuela dan Nigeria memang mengakui mengalami penurunan produksi. Disebutkan juga bahwa,Dalam catatan OPEC, yang dianggap sudah out of date,Indonesia disebutkan masih mempunyai kapasitas produksi 1,45 juta barel per hari.Padahal kenyataannya Indonesia pada bulan September,2006 hanya mampu berproduksi 862,900 barel per hari.

Energy Reshape Policy

Keputusan Indonesia untu keluar dari OPEC secara phycsiologis memang agak berat, mengingat kebersamaan dan perannya sejak tahun 1962. namun sejalan dengan waktu dan dikarenakan tingkat produksi nasional mengalami penurunan secara alami,tentunya Indonesai harus mengambil sikap. Dan terlebih lagi dikarenakan sejak tahun 2004,Indonesia sudah merupakan bagian dari pemicu tingginya harga minyak internasional dimana ,kebutuhan impor Indonesia mewakili lebih dari 1 % dari tingkat konsumsi dunia sebesar 85 juta bph. Berikut dibawah ini merupakan daftar negara2 pengimpor minyak yang sangat signifikan.

Top World Oil Net Importers, 2004*
Country Net Oil Imports (million bbl per day)

  1. United States America, 12.1 million bbl per day
  2. Japan, 5.3 million bbl per day

  3. China, 2.9 million bbl per day

  4. Germany, 2.4 million bbl per day

  5. South Korea, 2.2 million bbl per day

  6. France, 1.9 million bbl per day

  7. Italy, 1.7 million bbl per day

  8. Spain, 1.6 million bbl per day

  9. India, 1.5 million bbl per day

  10. Taiwan, 1.0 million bbl per day

*Table includes all countries that imported more than 1 million bbl/d net in 2004. EIA

Terdapat beberapa agenda politik baru bagi Indonesia dengan keluarnya dari OPEC,diantaranya ;

  1. Kebijakan politik Luar Negri

  2. Kebijakan politik Dalam Negri.

Kebijakan politik luar negri

Selama periode tahun 2004 sampai tahun 2008, Indonesia dengan mempertahankan diri sebagai anggota OPEC, .posisinya seperti tersandera sendiri oleh Negara Negara penghasil minyak lainya yang masih berstatus sebagai net oil exporter.Tersandera dalam pengertian posisi Indonesia untuk melakukan upaya kerjasama jangka panjang dalam hal mendapatkan suplai minyak apakah untuk refinery yang sudah ada maupun dengan membangun refinery yang baru. Para Negara signifikan net oil exporter, mempunyai anggapan terhadap Indonesia,bahwasanya bagaimana mungkin sebagai Negara anggota OPEC,yang selalu disimbulkan dengan pesta Dollar dari windfall profit pada tingginya harga minyak, mengalami shortage untuk memenuhi kobutuhan kosumsi dalam negri. Padahal posisi Indonesia sejak memasuki tahun 2004, sangat membutuhkan impor yang begitu besar ,dengan harga yang relative murah dan tanpa ada mengalami gangguan .Posisi ambiguiti inilah yang membikin sulit bagi Indonesia dalam upaya menjalankan OIL diplomacy dengan negara2 di kawasan Heartland.Terobosan Oil diplomacy yang baru saja dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan melakukan kerjasama dengan Iran perlu dilanjutkan dengan Negara lainya seperti Arab Saudi,Kuwait,UAE,Venezuela,Sudan dan Rusia.

Ada catatan menarik bahwa ketika Raja Arab Saudi,Abdullah melakukan kunjungan ke Cina untuk penandatanganan kerjasama suplai minyak,beliau tidak menyempatkan diri untuk berkunjung ke Indonesia.Ironisnya,beliau malahan berkunjung ke Malaysia,yang notabene bukan anggota OPEC. Mencermati kejadian ini, ada suatu rencana kedatangan beliau ke Indonesia pada akhir tahun 2007 yang dinyatakan oleh Duta Besar Arab Saudi untuk RI setelah melakukan sholat jumat bersama Presiden SBY di mesjid istana ke Presidenan tahun lalu. Sampai tulisan ini dibuat, belum ada lagi berita kelanjutannya. Dengan keluarnya Indonesia dari OPEC tentunya memperlihatkan sikap yang sangat jelas kepada dunia internasional bahwa Indonesia sudah memasuki new emerging country, Haus akan minyak seperti Cina dan India. Hal ini artinya Indonesia akan menunjukan strategi berkompetisi dengan negara2 lainnya untuk mendapatkan akses ke sumber2 energi(baca:minyak mentah). .Dalam kondisi ini tentunya Indonesia ,sebagai mantan angggota OPEC,yang telah mempunyai hubungan baik selama 46 tahun, akan mendapatkan berbagai keistimewaan,.Cina setiap hari impor 720 ribu barel dari Arab Saudi dan terus akan meningkat volumenya sejalan dengan rencana pembangunan dua refinery.Cina saat ini mempunyai produksi 3,5 juta barel per hari(bph) dan impor 3,5 juta bph,menjadikan total konsumsinya setiap hari sekitar 7 juta bph.

Kebijakan Politik Dalam Negri

Keluarnya Indonesia dari OPEC,membuat berbagai kalangan terbuka matanya bahwa Indonesia sudah tidak lagi seperti eranya oilbonanza atau net oil exporter . Kedepannya,sudah pasti akan sedikit membantu pemerintah untuk mensosialisasikan kenaikan harga BBM kepada masryarakat luas ketika harga minyak internasional sangat tinggi.Disamping itu juga akan membuka jalan lebar bagi pemerintah untuk membangun tenaga nuklir.

Pada waktu Indonesia masih sebagai net oil exporter dizaman orde baru dan tetap melakukan untuk menaikkan harga BBM,hal itu disebakan harga minyak dunia berada dibawah biaya produksinya.seperti yang terjadi pada tahun 1986. Harga minyak pada waktu itu berkisar antara US$6-8 per barel. Sementara biaya produksi minyak diberbagai Negara industri berkisar antara US$ 8-10 per barel,terkecuali dikawasan Heartland yang biayanya hanya dibawah US$ 1.50 per barel. Melihat situasi sekarang ini ,Indonesia harus impor minyak sebesar satu juta barel per hari dan pada saat yang bersamaan juga perlu memberikan harga BBM yang bersubsidi untuk berbagai kelompok masyarakat.

Setelah Indonesia menjadi net oil importer sudah sangat tidak mungkin lagi untuk kembali menjadi net oil exporter ,meskipun ladang minyak dari Cepu akan berproduksi atau ladang minyak lainnya. Profil kurva produksi dan konsumsi dibawah ini merupakan gambaran bagaimana Indonesai kedepan akan dihadapi dengan semakin lebarnya jarak antara tingkat produksi dan konsumsi.

Sumber :EIA
Jadi akan menjadi suatu pertanyaan ketika Presiden SBY sudah memutuskan untuk segera keluar dari OPEC,sementara Wakil Presiden JK mentargetkan untuk kembali masuk OPEC dalam jangka lima tahun mendatang pada tahun ,2013(Kompas 30/05/08). Pada tahun 2013 nanti,tingkat produksi Indonesia berkisar hanya 800 ribu bph,sementara tingkat konsumsinya sudah mencapai 1,6 juta bph.. Salah satu indikator pemicu tingginya konsumsi di dalam negri yakni dinamika perkembangan demokrasi. Ada 51 partai politik yang akan meramaikan kehidupan demokrasi di Indonesia.Sudah menjadi tradisi kalau melakukan kegiatan kampanye iring irngan dengan menggunakan sepeda motor/mobil .Kegiatan ini tentunya akan memicu konsumsi BBM.


Untuk lebih jelasnya tingkat produksi nasional dapat dilihat pada chart produksi yang dikeluarkan oleh Indonesain Petroleum Association. (IPA). Organisasi inilah yang mengayomi seluruh perusahan minyak beroperasi di Indonesia dan secara periodik memberikan data yang diprojeksikan tingkat produksinya. Kompilasi keseluruhan data ini yang mencerminkan kondisi aktual produksi minyak Indonesia.

Dari titik sini terlihat sangat jelas sekali bahwa masih belum ada keseragaman pandangan dalam perspektif geopolitik energi di Indonesia. Seyogyanya begitu Indonesia mengambil sikap untuk keluar dari OPEC, semua elemen dan masyarakat menentukan langkah strategis berikutnya bagaimana Indonesia meningkatkan stock nasional dari hanya 21 hari menjadi 30 hari atau bahkan kalau perlu mencapai 60 hari dan membuat iklim investasi migas yang harus kondusif. Merancang strategi negosiasi untuk tidak memperpanjang kontrak ladang minyak atau gas yang masih berproduksi. Menggalakkan alternative BBM , seperti biofuel. Sekarang ini ada 22 perusahaanyang yang telah mendapatkan dukungan dari pemerintah untuk mengembangan BBN,tapi ternyata hanya 3 perusahaan yang dapat berjalan.

Tidak ada komentar: