Selasa, 16 September 2008

Indonesia Korban Kenaikan Harga
Minyak Internasional

Analisis Industri Migas, Dirgo Purbo:



JAKARTA—Persoalan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di berbagai wilayah di Tanah Air belakangan ini selayaknya dilihat dari perspektif yang lebih luas. Kesulitan yang dihadapi PT Pertamina (Persero) juga dapat dipahami sebagai akibat dari pemberlakuan UU Migas No. 22/2001 yang kontroversial. Harga minyak dunia yang terus meroket hingga di atas US$ 60 per barel, telah menyebabkan Indonesia menjadi salah satu korbannya. Saat ini dan masa mendatang, minyak bumi memiliki bobot geopolitik yang teramat besar, bahkan dapat menentukan ketahanan ekonomi dan kebijakan suatu negara. Kasus Exxon Mobil yang kontraknya diperpanjang juga dapat dipahami membahayakan ketahanan ekonomi Indonesia.

Untuk memahami masalah ini lebih dalam, berikut wawancara dengan Dirgo Purbo, analis industri migas sekaligus pendiri Pusat Kajian Strategis untuk Kepentingan Nasional (Paskal).

Bagaimana komentar Anda tentang perpanjangan kontrak bagi ExxonMobil?
Perpanjangan kontrak yang diberikan oleh pemerintah itu jelas tidak memberikan keuntungan yang banyak kepada Indonesia, jika melihat perpetaan minyak di sektor hulu di Indonesia yang sangat lemah. Padahal potensi di situ besar sekali. Blok Cepu diperkirakan memiliki cadangan 750 juta barel. Jadi seharusnya kita bisa mengambil sikap perpanjangan itu seharusnya tidak dilakukan, kecuali nanti di 2010 ada negosiasi.

Berapa kira-kira keuntungan yang seharusnya bisa kita raup sepenuhnya?
Secara kasar begini saja. Blok Cepu itu tergolong shallow well atau ladang minyak di lapisan dangkal. Apalagi ini masih natural atau alami. Dengan demikian biaya produksi relatif rendah. Hitung saja biaya US$ 4-5 per barel. Ini harga estimasi. Harga minyak sekarang US$ 60 per barel. Kalau kita kembangkan secara gradual, secara kasar pun kita bisa melihat berapa besar keuntungan itu yang diperoleh. Katakanlah, mungkin dari 2-3 sumur yang dibuka sekitar 30.000 barel per hari, dikalikan US$ 50 per barel, artinya paling sedikit ada keuntungan bersih US$ 1,5 juta per hari.
Apa ini tidak memperkuat ketahanan ekonomi kita?
Kalau kita bicara tidak diperpanjang kontraknya, tahun 2010 siapa yang bisa memprediksi harga minyak saat itu? Apakah akan tetap US$ 60 per barel atau naik jadi US$ 70 per barel? Kemungkinannya?Kecenderungannya naik. Apa kita pernah dengar harga minyak turun? Tidak pernah. Mana ada sejarahnya. Cuma sebentar saja. Coba lihat catatan sejarah harga minyak dunia. Tatanan minyak dunia juga sudah berubah. Tidak ada lagi OPEC basket price. Siapa yang bisa mengembalikan dari US$ 60 per barel kembali ke US$ 50/barel? Tidak ada satu kekuatan yang bisa mengembalikan harga minyak. Kelangkaan BBM yang terjadi saat ini,

Anda melihat dimana akar permasalahannya?
Kalau kita bicara BBM, di sektor migas itu kan berada di hilir atau downstream. Sedangkan kalau kita bicara komprehensif, kita harus bicara di upstream (hulu). Jadi, siapa yang mengontrol BBM di bawah harus terlebih dulu mengontrol di upstream. Ini yang namanya pemahaman vertical integrated. Di sini kuncinya. Nah, ketika Pertamina masih belum menjadi korban dari UU Migas No. 22/2001, mereka jelas-jelas menguasai dan mengontrol upstream. Ini kunci strategisnya. Begitu UU Migas masuk, semua tatanan ini bubar. Prinsip dasar dari industri migas bubar semua. Menghadapi situasi Indonesia dimana sebagian kota di Sumatera dan Jawa mengalami kelangkaan BBM, ini bukan lagi dilihat soal telat pengapalan atau soal bongkar muat, tetapi sudah lebih soal bahwa Pertamina sudah tidak sanggup lagi menanggulangi biaya BBM yang sudah begitu tinggi, di luar jangkauan prediksinya. Kalau sudah begini, artinya tidak ada antisipasi. Sekarang Pertamina tidak punya ladang minyak di luar Indonesia. Jadi tidak mendapat jaminan suplai crude oil. Kalau tidak mendapat jaminan itu, artinya harus membayar minyak mentah ini di pasar internasional. Dan itu harus dibayar berapa pun yang ditawarkan. Selain itu, Indonesia harus berkompetisi dengan negara-negara yang sudah eksis dengan ladang-ladang minyak di luar wilayahnya. Artinya, kita harus berkompetisi dengan perusahaan minyak, dengan negara-negara maju yang daya belinya lebih besar dibanding kita. Ibaratnya cash flow-nya jauh lebih besar.

Sementara Indonesia, khususnya Pertamina, dihadapkan pada birokrasi, pencairan subsidi BBM melalui Departemen Keuangan berikut hirarkinya yang panjang, harus mendapatkan persetujuan dari parlemen, adalah mekanisme yang makan waktu. Sedangkan kalau kita bicara minyak, perkembangannya sangat cepat. Kalau kita tidak punya cadangan minyak yang besar untuk menjamin pembelian di luar, selesailah. Dan ini akibatnya bisa dilihat seperti yang terjadi saat ini. Kita harus bersaing dengan negara-negara besar, negara net oil importer lainnya. Posisi Indonesia sangat lemah (vulnerable) untuk menjadi korban dari harga minyak internasional. Bagaimana prediksi Anda tentang harga minyak ke depan?Harga minyak untuk ke depan sangat mungkin terus meningkat. Ini karena faktor geopolitiknya besar. Bobotnya hingga 90 persen. Pertama, indikasi Iran kemungkinan tidak akan menyuplai minyak ke AS menyusul Pemilu yang dimenangkan oleh kelompok garis keras. Kalau sudah begini, terjadi pergesekan kepentingan nasional. Ini menandakan bahwa AS harus bisa mencari alternatif sumber energi selain Iran untuk suplai jangka panjang. Konsekuensinya, berapa pun harganya pasti dibayar oleh AS. AS sedang menghadapi persaingan ketat dengan Cina dimana Cina dengan kebijakan energinya bagaimana mendapatkan jalur-jalur akses di seluruh penjuru dunia. Dan Cina mendapat prioritas utama dari Pemerintah Iran. Pasalnya, ada perjanjian pertukaran senjata dengan Iran. Faktor-faktor geopolitik inilah yang kemungkinan akan memicu harga minyak dunia terus melambung. Disamping itu Irak tidak memberi tanda-tanda menuju perdamaian, malah kekacauan intensitasnya makin besar. Dari dua negara ini (Iran dan Irak) yang notabene menentukan harga minyak dunia ini, maka sangat mungkin sekali harga minyak akan terus meroket.

Lantas apa yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia?
Sekarang menurut hemat saya, kita harus mengambil sikap. Mari kita pecahkan bersama masalah ini. Energi khususnya minyak di dalam negeri bukan semata-mata karena ini rezimnya baru. Siapa pun yang memerintah akan dihadapkan pada persoalan ini. Karena menurut estimasi kapasitas produksi minyak kita, tahun 2004 memang Indonesia benar-benar masuk net oil importer atau negara pengimpor minyak. Pengertiannya, konsumsi sudah jauh melebihi kapasitas produksi nasional. Kita tidak pernah menghitung bahwa ada suatu ketidakseimbangan bahwa konsumsi kita sudah jauh melebihi produksi nasional. Akibatnya, ketergantungan kita untuk mendapatkan produk hasil penyulingan berupa BBM yang tidak bisa kita tukar (swap) dengan minyak mentah. Dan BBM ini harus kita beli dengan harga berapa pun. Kalau pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi 5-6 persen, pada saat bersamaan kita membutuhkan energi untuk menggulirkan ekonomi dengan persentase sama dengan pertambahan pada tingkat sebelumnya. Nah, dimana kemampuan kita untuk menambah kebutuhan ini?Itu baru gambaran makro. Untuk mikro, memang Pertamina memiliki keunggulan kompetitif dalam hal distribusi BBM.

Tetapi sekarang, bagaimana kita menghadapi harga minyak begitu tinggi?
Pertamina membeli BBM dalam kurs dolar, harga jual disubsidi dan dibayar dalam kurs rupiah. Jadi intake-nya dalam rupiah. Dilihat dari kasat mata, ini sudah tidak benar. Komponen biaya BBM sekitar 80 persennya adalah dalam dolar AS. Selain itu, harganya berfluktuasi. Outputnya dipatok dalam rupiah. Pertanyaannya, mau sampai kapan kita bertahan dengan skema seperti itu? Anda melihat ada sesuatu di balik kondisi yang terjadi saat ini?Dari situasi seperti sekarang, saya melihat ada kecenderungan Indonesia dalam menghadapi shortage karena korban dari mekanisme subsidi BBM, secara tidak langsung akan menaikkan harga di pasar. Saat ini harga patokan dengan harga pasar masih sangat berbeda jauh.

Apakah ini menjelang November 2005 yang notabene perusahaan-perusahaan asing yang masuk dalam sektor hilir akan masuk juga?
Karena mereka pasti tidak akan mau jika perbedaan harga masih sangat jauh.Ada kecenderungan ke arah sana?November 2005 subsidi BBM rencananya mau dicabut. Kalau dicabut, artinya harga pasar internasional. Jadi buat perusahaan multinasional tidak ada masalah masuk ke Indonesia. Intinya, mereka baru mau masuk jika harga sudah sama antara harga patokan dengan harga pasar. Ini tinggal waktu saja.

Artinya bakal ada kenaikan harga?
Nah, kita harus jeli melihat bahwa jangan-jangan ini mengantisipasi pasar bebas di Indonesia. Atau mengakomodir kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional. Karena kalau mereka dalam kondisi sekarang, ada disparitas harga yang begitu menyolok, tidak akan mau mereka masuk. Meskipun SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) nanti pakai penjaga wanita yang seksi, belum tentu didatangi. Dan seberapa kuat mereka bersaing dengan Pertamina yang sekarang ini sudah benar-benar menguasai.

Dan bulan November 2005 juga fungsi distribusi minyak tanah yang dijalankan oleh Pertamina juga dicabut?
Itu konsekuensi dari UU Migas. Makanya dalam tahapan ini coba kita analisa kembali, apakah kita mau menghabiskan Pertamina? BUMN ini kan simbol dari perusahaan minyak Indonesia. Siapa sih yang tidak bangga dengan Pertamina? Apapun kondisinya, Pertamina itu kan simbol perusahaan minyak Indonesia. Kenapa kita tidak membanggakan ini bersama-sama? Malaysia bangga dengan Petronas-nya. Minimal kita ada kebanggaan. Kalau itu simbol kebanggaan bangsa Indonesia khususnya di sektor perminyakan dan kita ingin menyetarakan dengan perusahaan multinasional, ya kita harus konsekuen. Kita bangun bersama, kalau UU tidak benar ya kita kembalikan. Ironisnya begini. Sebelum UU No. 8/1971 tentang Pertamina, BUMN ini terbagi atas 3-4 perusahaan. Pemikir-pemikir strategis pada waktu itu berkesimpulan ini harus disatukan. Pengertiannya, menguasai mulai dari sektor hulu sampai hilir. Semua yang masuk harus lewat Pertamina. Apakah itu monopoli, itu lain cerita. Sekarang, begitu reformasi, semua itu bubar. Pertamina dipecah-pecah. Ironisnya, perusahaan-perusahaan minyak dunia di internasional justru melakukan merger. Semenjak 1998, semua perusahaan migas bergabung. BP dengan Amoco, Exxon dengan Mobil bergabung. Sementara Pertamina sendirian, dipecah-pecah lagi. Coba pikirkan ini. Bagaimana kita menghadapinya kalau kita bicara ketahanan nasional, ketahanan ekonomi.

Tetapi MK oke-oke saja dengan UU Migas?
Saya dengar ada satu dua pasal yang ditinjau. Ini yang mesti kita sekarang sedikit lihat ke belakang (review). Ini kelemahan kita bahwa sekarang kita berhadapan dengan semua perusahaan migas besar bergabung (merger) sementara Pertamina sendirian di Indonesia lalu dipecah-pecah untuk mengakomodasi atau berkompetisi dengan perusahaan besar itu. Saya mau bilang bahwa siapa yang menguasai sektor hulu, selebihnya tinggal mengatur sektor hilir. Mulai dari transportasi, refinery, distribusi BBM. Kalau di sektor hulu-nya masih ada peran pemerintah. Jika minyak masih di dalam perut bumi, itu hak pemerintah. Tetapi jika sudah dikeluarkan, maka itu menjadi hak perusahaan minyak. Ironisnya juga, dalam harga jual BBM, pemerintah kan sudah tidak punya kontrol lagi. Berapa pun keuntungan bagi perusahaan minyak ini, itu sudah free market. Paling-paling bagian pajak untuk pemerintah.

Menurut Anda, apa yang harus dilakukan untuk menarik investasi di sektor migas?
Saya melihat potensi Indonesia masih besar, masih menarik. Tetapi satu yang mengganjal adalah convenience atau kenyamanan. Sekarang, untuk aktivitas di lepas pantai atau offshore lebih disukai karena meski biaya lebih besar tetapi lebih sederhana, simpel mengerjakannya. Sementara kalau di daratan atau onshore dihadapkan pada berbagai masalah terutama dengan UU tentang Otonomi Daerah. Padahal ke depan, kita bersaing dengan negara tetangga yang lebih memberikan kenyamanan. Ini yang mahal harganya. Bagi perusahaan minyak, jika suatu wilayah memiliki prospek meskipun di wilayah itu ada konflik, itu masih bisa ditolerir. Indonesia sekarang relatif lebih stabil faktor keamanan. Ini yang perlu kita tingkatkan. Kita memberi semacam jaminan atau guarantee kepada investor. Kita jamin expenditure atau pengeluaran tidak melebihi karena hal-hal di daerah lokasi eksplorasi. Terus-terang banyak perusahaan migas multinasional yang mengeluh bahwa mereka tidak mendapatkan kenyamanan.

Tidak ada komentar: