Rabu, 17 September 2008

Kata Pengantar

Setetes Minyak, Sebuah Simbol Kekuatan Bangsa, dan
Segudang Kepentingan Nasional


Ketika berbicara tentang dunia perminyakan (world oil) pada kenyataannya mempunyai nuansa politik sebesar 90% sedangkan sisanya yang 10% berbicara tentang minyak itu sendiri. Demikianlah apa yang diungkapkan oleh Guildford dalam buku Energy Policy yang ditulis pada tahun 1973. Dan pernyataan itu sudah terukir dalam sejarah bahwasanya, dibalik pertempuran-pertempuran besar dibelakang sengketa antar negara, dibalik perebutan kekuasaan dan kudeta, dibalik dukungan diam-diam kepada tentara pemberontak, serta di latar penyerbuan terang-terangan negara adidaya, ternyata minyak telah menjadi salah satu faktor penting dan penentu yang dapat mengubah wajah dunia. Kentalnya politik dalam aspek minyak bagai tergambar dengan gamblang dalam ucapan Georges Clemencau, salah seorang komandan tangguh pasukan Napoleon dalam Perang Dunia I (1914-1918), "Setetes minyak berharga sama seperti setetes darah dari prajurit kita. Minyak sama-sama diperlukan seperti darah". Jika minyak menduduki posisi yang begitu penting dan strategis sejak jaman dahulu kala, tentu tak heran jika masa sekarang banyak negara, terutama negara kaya dari dunia barat, berlomba-lomba ingin menguasai komoditas ini. Tentunya yang dimaksud dengan perkataan "minyak" disini lebih cenderung kepada minyak mentah (Crude Oil) yang diperoleh pada tingkat upstream (hulu). Karena disinilah yang nantinya akan menghasilkan bahan bakar minyak seperti avtur, bensin, premium, minyak tanah dan berbagai produk lainnya.

Dalam 35 artikel yang dirangkum dalam buku ini, Dirgo D.Purbo telah mengangkat berbagai isyu yang berhubungan erat dengan minyak dan politik di tingkat nasional, regional, dan internasional. Dan ternyata setelah diulas pada kumpulan tulisan di buku ini terlihat tampak jelas sekali bahwa aspek minyak mempunyai dimensi kebijakan keamanan nasional (national security) dan kebijakan politik luar negeri (foreign policy) dari pada suatu negara. Pandangannya yang jernih dan tajam, khas professional, tak bisa dilepaskan dari latar belakang Dirgo yang bekerja selama belasan tahun di beberapa perusahaan minyak multi nasional dan juga usahanya di bidang energi. Selain itu juga jaringannya yang luas di dunia perminyakan membuat Dirgo dapat menyajikan kisah-kisah dibelakang layar yang selama ini luput dari perhatian. Begitu jelinya analisanya seringkali dia juga tak segan bersikap tidak populis, ketika menurunkan artikel tentang ulasannya yang berjudul : Indonesia akan menjadi Net Oil Importer sekitar tahun 2004. yang ditulis pada pertengahan tahun 2002 di majalah Oil Plus dan yang terbaru berupa ulasan untuk mendukung pencabutan subsidi Bahan Bakar minyak (BBM). Dengan adanya suatu rencana pemerintah yang menghendaki untuk perpanjangan kontrak ladang minyak di propinsi Riau, termasuk yang di Cepu dan juga adanya rencana merubah UU Migas yang dari pemahaman vertical integrated menjadi "unbundling" diulas (lihat artikel Kepentingan Nasional dan Lebih Jauh Kepentingan Nasional Yang Terukur), telah diulas di berbagai naskah juga yang memberikan pandangan lain. Naskah-naskah itu dipublikasikan di berbagai media beberapa tahun belakangan ini dengan maksud dan tujuan tidak lebih supaya kebijakan energi ditata kembali secara fundamental sehingga Indonesia kedepan mempunyai posisi sangat strategis agar dapat menghadapi tantangan ekonomi global. Tulusan-tulisan dalam buku ini menjadi ruang wacana yang semakin menarik, karena penulisannya memasukkan unsur geopolitik dalam setiap analisanya, sebuah wilayah yang sangat jarang disentuh dalam tulisan praktisi perminyakan lain, kendati The Seven Sisters : The Great Oil Company and The Worl They Made, Sebuah buku klasik tentang kedahsyatan politik mimyak karya Antohony Sampson telah diluncurkan sejak tahun 1975. Artikel-artikel yang ditulisnya dalam rentang waktu delapan tahun (1997-2005) ini, dianalisa tentunya dengan dukungan atas data dan fakta yang lengkap.

Minyak Mengubah Sejarah Dunia

Sebelum jajak pendapat September 1999, Timor Timur adalah provinsi Indonesia yang ke –27. Wilayah ini memang selalu sarat pergolakan, isyu keamanan dan isyu hak asasi manusia ( HAM ) tak pernah lepas sepanjang perjalanan sejarahnya. Daerah ujung Timur yang kerap diberitakan sebagai daerah ‘miskin’ dan ‘ potensi sumber daya alamnya marjinal itu sontak menjadi sorotan kalangan perminyakan, ketika terbetik kabar di Celah Timor tersimpan kekayaan minyak nyaris mencapai lima miliar barel. Kisah menarik ini dibalik layar lepasnya Timor-Timur yang akhirnya merdeka menjadi Timor Leste itu dituangkan dalam dua artikel yang sarat data (lihat Dibalik Potensi Kandungan Migas di Timor Gap, halaman 7; Deal of The Century, 95). Yang lebih menariknya, banyak kalangan menyatakan cadangan minyak dicelah Timor tidak ada sama sekali justru, ironisnya disampaikan oleh pejabat pemerintah yang membidangi sektor energi.

Kisah lain yang mengubah posisi tawar negara-negara Arab terhadap dunia Barat juga terjadi ketika kekuatan politik minyak ini memporak-porandakan perekonomiannya. Pada tahun 1973, negara-negara Arab dengan cerdik menggunakan senjata minyaknya (oil weapon) untuk melawan negara-negara yang mendukung agnessor Israel dan melawan perang ekonomi (economic war). Pasokan ke AS dan Negara-negara Barat yang diidentifikasikan sebagai pendukung Israel dipangkas hingga 25%. Dampaknya sudah ditebak, sebagian negara mengalami kelumpuhan ekonomi dan harga minyak meroket hingga lima kali lipat dari USD 2,5 hingga USD 11,5 seperti yang diulas dalam artikel Sekilas Mungukur Kekuatan "Oil Weapon". Dideskripsikan bagaimana minyak berperan sebagai sebuah kekuatan yang lebih efektif dari mesin-mesin perang konvensional. Hingga akhir tahun 1975, tercatat tak kurang dari 25.000 transaksi bisnis yang mewakili 90% perusahaan AS terpaksa dibatalkan, Inggris terpaksa mengurangi rasio perdagangannya 10:1 ke Israel, Jerman barat membatalkan investasi 10.000 unit kendaraan ke Israel, 336 perusahaan Perancis masuk daftar hitam, 150 perusahaan Jepang juga diboikot, nasib serupa dialami pula oleh koleganya dari Italia, Belgia, dan Spanyol. "Dunia jangan pernah melupakan bahwa senjata Negara Arab, oil weapon, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan senjata nuklir," demikian pernyataan keras Ismail Fahmi, Menteri Luar Negeri Mesir kala itu. Dan senjata itu dapat digunakan lagi sewaktu-waktu jika situasi membutuhkan.

Ketika Amerika Serikat menyerang Irak untuk kedua kalinya pada tahun 2003, dibalik semua alasan pembenaran untuk menyerang Negara Teluk itu, seperti berkomplot dengan teroris hingga menyimpan senjata pemusnah massal – yang belakangan ternyata diakui tidak terbukti kebenarannya ternyata minyak adalah bagian dari kisah dibalik layar yang menjadi pemicunya, dan itu telah diuraikan oleh Dirgo sebulan sebelum AS menyerang Irak, pada artikel berjudul "Haruskah AS menyerang Irak?"

Data yang diungkapkan oleh geolog terkemuka menyebutkan bahwa Irak ternyata menyimpan potensi kandungan minyak sebanyak 112 miliar barel, yang menempatkan Negara itu sebagai penghasil minyak nomor dua setelah Arab Saudi. Sebagaimana diketahui, bahwa 45% kebutuhan minyak dalam negeri Amerika dipasok dari Timur Tengah.

Minyak Sebagai Simbol Kekuatan Bangsa

Jika pada Perang Dunia I minyak disetarakan kedudukannya dengan darah prajurit, maka dalam Perang Dunia II Angkatan Perang Jepang menjadikan minyak sebagai sebuah symbol kekuatan dan kelangsungan (symbol of power and continuity) ketika mereka berhasil menguasai ladang-ladang minyak di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan sebagian Malaysia. Terhentinya langkah Jepang mewujudkan inpian negara Asia Raya juga terpotong oleh pasokan energi (shortage energy), nasib serupa juga dialami tentara ke 3 dibawah pimpinan Jenderal Patton yang terpaksa menghentikan penyerbuan ke Jerman (1944) lantaran kehabisan minyak. Dari catatan sejarah itu, tak pelak lagi bahwa minyak adalah salah satu symbol kekuatan bangsa.

Lantas bagaimanana dengan Indonesia? Sebagai salah satu negara produsen minyak, adalah suatu kewajiban bagi Indonesia untuk mengamankan pasokan energi dalam negerinya. Dalam beberapa tulisan dibuku ini disorot juga pentingnya pengamanan energi untuk memperkuat pertahanan dan keamanan nasional yang dapat kita temukan dalam Pengamanan Sumber Energi untuk Kepentingan Nasional Indonesia; Sukhoi, Aceh dan LNG dalam Kepentingan Nasional dan beberapa artikel lainnya.

Harus diakui, setiap tulisan dalam buku ini ditulis dengan bingkai nasionalisme yang sangat kuat, semata-mata pesan yang disampaikan selalu untuk kepentingan nasional Indonesia. Beberapa pandangannya yang tertuang dalam tulisannya mungkin agak terasa kontroversial karena bertentangan juga dengan beberapa kelompok tertentu. Penulis dengan sangat tegas dan gamblang menolak usul penghapusan Komando Daerah Militer (KODAM), terutama di wilayah-wilayah Indonesia kaya minyak dan sumber daya mineral dengan alasan pada tahun-tahun kedepan bila dilihat dari segi pertahanan dan keamanan negara sepertinya bila KODAM dihapuskan akan mempunyai potensi untuk lemahnya ketahanan nasional Indonesia serta akan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia dikemudian hari.

Gunakan Kekuatan Minyak Untuk Pemulihan Ekonomi.

Tumpukan hutang luar negeri Indonesia yang rasanya terus bertambah tiap tahun, selalu membuat para teknokrat yang membidangi sektor ekonomi berupaya mencari jalan keluar. Dan hutang luar negeri yang semuanya dalam bentuk mata uang dolar(atau mata uang luar negeri lainnya) itu mempunyai kecenderungan terus membengkak disatu sisi, lantaran mata uang rupiah ada kecenderungan bergerak terus melemah. Padahal, sebagaimana diungkapkan dalam beberapa tulisan buku ini, solusinya ada di depan mata. Hanya saja sepertinya ada unsur-unsur yang tidak menghendaki untuk digunakan dikarenakan berbagai alasan dan pertimbangan. Dalam artikel Menuju bangkitnya Ekonomi Indonesia, ada satu pemikiran menarik yang sangat mungkin dapat diterapkan yakni dengan menetapkan peraturan pembayaran minyak dan petroleum produk dalam bentuk mata uang Rupiah dan harus dibayarkan melalui bank Indonesia (BI), serta harus diendapkan dalam waktu sebulan sebelum dana tersebut dicairkan. Nantinya diyakini, dengan memberlakukan system pembayaran ini akan terjadi suatu "rush" untuk permintaan Rupiah.

Mekanisme pembayaran ini, menurut penulis, sebetulnya hanya mengadopsi peraturan transaksi bisnis yang berlaku selama ini, di mana setiap pembelian minyak mentah atau petroleum products selalu menggunakan mata uang dolar yang dibayar dan diendapkan terlebih dahulu di Federal Reserve New York. Mekanisme ini dipastikan akan menguatkan mata uang Rupiah karena akan meningkatkan permintaan terhadap rupiah dalam jumlah besar secara rutin. Penilaian, Dirgo atas gagasan ini tidak lain bahwasanya sebagai negara produsen minyak tentunya punya hak otonomi penuh.

Ada juga gagasan alternative lain yang dapat menguatkan mata uang Rupiah, jika persyaratan seperti diatas diberlakukan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang duduk sebagai participant interest di ladang-ladang minyak berproduksi, secara otomatis permintaan atas rupiah akan meningkat sangat signifikan. Salah satu contoh kecil; bila BUMD yang terlibat di CPP block di Pekanbaru menjual jatah produksinya yang sebesar 14.000 barel minyak perhari dengan harga rata-rata USD 31, maka pada kurs Rp. 8.700,- akan ada transaksi sebesar Rp.113 miliar setiap bulannya. Bayangkan jika para oil traders diwajibkan untuk transaksi serupa setiap bulannya dengan Rupiah lantas uangnya diendapkan rata-rata satu bulan di BI, maka bisa dipastikan mata uang Rupiah secara bertahap akan menguat sehingga secara umum dapat mengurangi biaya-biaya operasional listrik, telephone, BBM dan gagasan itu akan bermuara dengan akan terciptanya suatu daya beli yang kuat bagi masyarakat. Dari titik sini, Dirgo berkeinginan untuk mengangkat nilai-nilai strategi ekonomi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dan masih banyak lagi gagasan-gagasan yang sangat kreatif mengalir dalam tulisan-tulisan ini seperti bagaimana memanfaatkan dana APBN untuk mendukung kegiatan pengeboran di ladang-ladang bekas PSC (Production Sharing Contract) yang dikelola secara professional dan efisien (Ladang Minyak "Baby Elepant" Menuju Pemulihan Ekonomi) artikel ini muncul sebagai respon terhadap rendahnya tingkat kesuksesan BPPN yang Cuma 1,07% ketimbang potensi keberhasilan di eksplorasi dan produksi sumur-sumur bekas PSC yang dapat mencapai 30%; atau menerapkan strategi Last Tranche Petroleum (LTP) ketika produksi minyak berada di tengah-tengah antara puncak produksi dan field economic limit. Dengan menerapkan LTP, secara otomatis penyerahan kembali pengelolaan ladang minyak ke Pertamina bisa dilakukan lebih awal, sehingga Indonesia bisa mendulang lebih banyak keuntungan ketimbang ditunggu sampai produksinya betul-betul habis; di sisi lain, Indonesia juga dapat meningkatkan kemampuannya untuk menciptakan produk minyak bernilai tambah tinggi (Petroleum Coke, 43). Dalam pengamatannya mengenai kasus Blok Ambalat ternyata Dirgo telah menyinggungnya dalam tulisannya di Jurnal Paskal (Maret 2004-Jurnal PASKAL- yang berjudul Intelijen Dalam Kepentingan Nasional) dan juga dimuat pada Jurnal Intelijen, Kontra Intelijen (Januari Edisi No.4 – 2005) Begitu banyak artikel menarik yang terangkum dalam buku ini, yang dapat dipahami sebagai fragmen yang terpisah-pisah, namun setelah dibaca dalam sebuah kesatuan ternyata mempunyai makna yang saling terhubung untuk kepentingan nasional Indonesia. Satu benang merah yang menyatukan semua tulisan ini ialah ; minyak yang merupakan komoditi sangat strategis adalah symbol kekuatan bangsa, disanalah semua kepentingan nasional dari pada suatu negara di pertaruhkan. Membaca tulisan-tulisan ini membuat kita tersentak dan diingat ; Indonesia sudah terlena terlalu lama hidup dalam paradigma orang lain, sekaranglah saatnya untuk bangkit dan berdiri diatas kaki sendiri.

Diterbitkan Oleh





Beberapa Pandangan Dari Tokoh
Nasional Mengenai Buku
Geopolitik Perminyakan

"Himpunan tulisan pada buku ini merupakan masalah perminyakan dari perspektif geologis, ekonomi, politik, keamanan, kedaulatan Negara, ketahanan nasional (termasuk intelijen) dan hubungan internasional kontemporer. Benang merahnya adalah bahwa minyak adalah karunia Tuhan bagi umat manusia yang pemanfaatannya menimbulkan berbagai dampak dan akibat. Uraian penulis terhadap berbagai masalah perminyakan dari perspektif yang berbeda – beda dirasa dalam, ideology dan kritis. Bagi studi Hubungan Internasional juga, kumpulan tulisan ini dapat menjadi rujukan yang berharga"

Ali Alatas, S.H.
Mantan Menteri Luar Negeri
Penasihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


Buku geopolitik perminyakan ini memberikan kepada pembaca gambaran dan informasi yang sangat bermanfaat dalam berbagai persoalan minyak bumi itu dan patut di baca oleh pihak yang berkecimpung dan berminat terhadap masalah Politik Internasional. Dan pada umumnya semua orang yang berminat pada perkembangan umat manusia akan dapat menambah pengetahuannya dengan membaca buku ini, termasuk kaum ekonom. “

Letjen TNI ( Purn ) Sayidiman Suryohadiprodjo
Mantan Gubernur Lemhanas
Penasihat Militer Presiden BJ Habibie


“ Dari kumpulan tulisannya kita mendapatkan informasi yang luas tentang seluk beluk energi dan minyak bumi, tidak hanya sekadar informasi, tapi juga analisis dan evaluasinya serta pandangannya ke masa depan, yang disajikan secara objektif dan berani. “

Laksda TNI ( Purn ) Wahyono Suroto K, Phd.
Sekjen LVRI Managing Editor Majalah TELSTRA

“ Setelah membaca buku Geopolitik Perminyakan yang di tulis oleh Saudara Dirgo D. Purbo, maka tampak dengan jelas bagaimana keterkaitan pengelolaan migas dengan Ketahanan Nasional suatu bangsa. “

Prof. Dr. Wan Usman, MA
Ketua Program S-2PKN Universitas Indonesia

“ Tulisan – tulisan dalam buku ini memberi antara lain gambaran bagaimana Migas ini dikelola di mancanegara, sehingga terbuka peluang bagi para pembaca untuk menilai dan memilih yang baik untuk di pertimbangkan guna menghasilkan yang terbaik bagi Rakyat Indonesia. “

Ir. N. Sutan Assin
Wakil Rektor IV Universitas Trisakti
Pengamat Migas

Selasa, 16 September 2008

Jurnal CSICI, No. 10/2007
Petro Strategy
Menuju Visi Indonesia 2030


“ Economies -- all economies -- run on energy. Energy is needed to produce food and manufacture goods, power machines and appliances, transport raw materials and finished products, and provide heat and light. The more energy available to a society, the better its prospects for sustained growth; when energy supplies dwindle, economies grind to a halt and the affected populations suffer.”
Thomas P. Bennet

Gambaran satu keluarga yang hidup dalam ketergantungan dari bahan baku minyak mentah(crude oil)

Ada dua kebutuhan manusia yang paling mendasar yang harus dipenuhi pada suatu negara demokratis atau tidak demokratis yakni : Food and Energy. Kedua aspek ini merupakan agenda kepentingan nasional daripada negara negara Industri. Indonesia yang terus menerus sedang mendapat sanjungan dari dunia luar merupakan negara yang demokratis sejajar seperti India, Amerika, Inggris, Australia,ternyata harus impor komoditi beras,jagung,kacang kedelai,garam,tepung,sapi,pupuk yang kuantitasnya semakin besar sejalan dengan pertumbuhan penduduk.

Seyogyanya, secara keseluruhan komoditi tersebut dapat ditanam,diternak dan diproduksi di dalam negri agar dapat menghemat devisa.Lantas bagaimana dengan kebutuhan energy Indonesia saat ini ?Impor minyak mentah dan BBM harus dilakukan karena kemampuan kapasitas refinery nasional sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negri. Ketika harga minyak mencapai US$ 78 per barel, Indonesia disebutkan menghadapi Krisis Energi. Antrian panjang untuk mendapatkan solar,premium dan minyak tanah terjadi berbagai kota.Tidak itu saja, pemadaman listrik, sempat terjadi juga disebagian kota bahkan diJakarta.Suplai dari negara2 pemasok mengalami hambatan dikarenakan adanya mekanisme keterlambatan pembayaran.Sampai memasuki Abad 21 ini,kehidupan manusia tidak akan bisa lepas dari ketergantungan bahan bakar fosil (Energi primer-non renewable energy).Energi fosil itu yakni : minyak mentah,gas alam , batu bara(BB),.Sifat dari ketiga bahan bakar tersebut dikatagorikan bahan bakar cair untuk minyak mentah (liquid) ,bahan bakar Gas untuk Gas alam (gas) dan bahan bakar padat untuk batubara, (solid),.Ketiga jenis fossil fuel ini mempunyai nilai kalori (heating value) dengan berbagai macam tingkatannya yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan pembakaran.

Pada gambar 1 terlihat dengan jelas produk yang dihasilkan dari breakdown satu barel minyak setelah melalui proses refinery.



Bagi minyak mentah jika sudah masuk ke rifenery ada rule of thumb untuk pemanfaatannya, yakni 60% menghasilkan produk yang digunakan untuk transportasi, udara,laut dan darat,baik itu untuk kebutuhan sipil atau militer. 25 % digunakan untuk pembangkit listrik dan sisanya yang 15% menghasilkan berbagai macam produk seperti minyak pelumas,aspal dlsb.Pemanfaatan gas alam dapat digunakan sebagai feedstock dan dapat juga dikonversikan untuk bahan bakar,BBG. Berbagai macam produk yang dihasilkan dari gas alam setelah melalui petrochemical plant al pupuk,methanol,syntetic fuel,ammonia,acethelyne,ethilyne,propelin dan sederetan derivatif lainnya seperti yang diuarikan pada gambar no 2 .




Bila digunakan untuk bahan bakar,kebanyakan digunakan untuk transportasi darat. Penggunaan BBG agak sedikit complicated dibandingkan yang dihasilkan dari BBM.Sedangkan pemanfaatan BB sebagai besar digunakan untuk bahan bakar pembangkit tenaga listrik, pabrik semen atau industri baja.Bisa juga diolah menjadi briket untuk digunakan memasak,akan tetapi tidak senyaman penggunaannya dibandingkan dengan minyak tanah atau elpiji.Darisini tampak terlihat sangat jelas sekali bahwa lagi2 bahan bakar cair jauh lebih convinience dan eficien.Dan faktor inilah yang menjadikan minyak terus menerus menjadi komoditi sangat strategis. Ada dua lembaga penelitian terkemuka di dunia, yang telah mengkaji korelasi antara harga minyak dengan pengembangan bahan bakar alternatif lainnya seperti gas alam,batubara,biofuel,. salah satunya dari Cambridge Energy Research Institute, yang mengungkapkan bahwa untuk extract minyak bumi kepermukaan dengan harga US$ 20 per barel sudah ekonomis, ladang gas juga dapat dikembangkan.Sedangkan coal to liquid, gas to liquid dan tar sand dapat dikembangkan dengan kondisi harga minyak yang harus berada di atas US$ 40 per barel. Shale oil yang cadangannya sangat melimpah di Canada,dan Amerika dapat dikembangkan kalau harga minyak US$ 50 per barel.Sedangkan untuk ethanol dan biodiesel harga minyak harus berada diatas US$60 perbarel. Harga minyak mentah sangat fluktuatif.tergantung dari 2 faktor suhu yang mempengaruhi :

  1. Suhu udara atau iklim dinegara Barat,terutama Amerika dan
  2. suhu geopolitik pada negara negara produsen minyak diTimur Tengah, Afrika dan Asia Tengah .

Amerika yang mengkonsumsi energi fosil sebanyak 22 juta bph ,60% didapatkan dari impor. Produksi dalam negerinya hanya 8,5 juta bph.Untuk mengantisipasi adanya gangguan suplai dari negara produsen,dirancang Strategic Petroleum Reserved yang mencapai 700 juta barel minyak mentah. Amerika,negara yang paling demokratis, menyatakan dirinya sebagai negara net oil importer sejak tahun 1941,padahal cadangan terbukti (P1) minyaknya 21,4 miliar dan BB di Amerika diestimasi mencapai 500 miliar ton,sedangkan shale oil setara dengan 1 triliun barel. Kenapa Amerika mendklarasikan sebagai net oil importer ? Maksud dan tujuannya tidak lain untuk merancang grand strategy yang harus dihadapi dimasa mendatang dikarenakan faktor ketergantungan (dependency) suplai dari negara produksi, terutama dari negara negara yang mayoritas penduduknya beragama islam di kawasan Heartland.Kawasan ini merupakan tempatnya dua pertiga cadangan minyak dunia Sejak Amerika diembargo oleh negara negara OPEC di Timur Tengah tahun 1973,menjadikan aspek minyak agenda kepentingan nasional.Seluruh pejabat pemerintah Amerika,apakah dari partai Demokrat atau Republik beranggapan bahwa :


“ Oil is high profile stuff ,oil is fuels militer power,national treasuries,and international politics.It is no longer a commodity to be bought and sold within the confines of traditional energy supply and demand balances.Rather, it has been transformed into a determinant of well being,of national security and of international power “

Hal yang hampir sama, dimana tidak jauh berbeda dengan negara China,(semi demokratis,) dengan P1=18.3 miliar, dimana selagi kapasitas produksi nasional menghasilkan sebesar 3,5 juta bph, akan tetapi sejak tahun 1993, China sudah mendeklarasikan negaranya sebagai net oil importer,.Dan pada saat yang bersamaan China merancang Energy Security.Sekarang ini China dengan penduduk 1,2 miliar orang mengkonsumsi energi fosil mendekati 7 juta bph.China juga menempatkan minyak sebagai agenda kepentingan nasional,Begitu hausnya China atas minyak untuk menunjang/menjalankan roda ekonominya,beberapa petinggi parpol mengatakan ;

Anyone who helps China with energy is a friend.Human rights ? we dont care,we care about oil. Konsumsi untuk BB mencapai 2,2 miliar ton per tahun. P1 China untuk BB mencapai 1 triliun ton.
Data P1 minyak mentah Indonesia diindikasikan sebesar 5 miliar barel ,produksinya setiap hari mendekati 1 juta barel. Kapasitas max refinery di Indonesia 1 juta barel,dengan running capacity 90%.

Jadi outputnya minimal menghasilkan 900 ribu bph dengan berbagai macam jenis BBM yang semata mata untuk dikonsumsikan di dalam negeri. Yang menjadi pertanyaan berapa total konsumsi didalam negeri untuk digunakan transportasi, dan pembangkit listrik ? Sampai sekarang data resmi dari pemerintah atas konsumsi energi setiap harinya belum ada. Dengan mengutip hasil wawancara anggota polisi lalu lintas di salah satu media elektronik, mengatakan bahwa jumlah kendaraan di Indonesia terdaftar 50 juta unit. Bila dibuat suatu skenario pesismis penggunaan rata2 dua liter BBM setiap kendaran, sama artinya mengkonsumsi 100 juta liter/hari yang setara dengan 628930 bph atau 70% dari kemampuan kapasitas refinery nasional.

Bagaimana bila di total dengan kebutuhan militer dan nonmiliter untuk kegiatan dilaut maupun udara ? Melihat begitu besarnya kebutuhan dalam negeri dan kemampuan nasional sekarang ini tidak dapat dipenuhi,maka pemerintah harus melakukan impor setiap hari sekitar 500 ribu bph berbagai ragam BBM. Devisa yang keluar setiap hari berkisar US$ 30 juta per hari(baca :oilbills) pada harga minyak US$ 60 per barel. Ditambah lagi dengan crudeoil yang diproses di refinery dalam negri sebesar 500 ribu bph,menjadikan nilai devisa untuk membayar oilbill berkisar US$60 juta per hari. Lantas bagaimana kalau harga minyak mencapai US$ 70, US$80,US $ 90,US$100 per barel ?. Impor minyak mentah dan BBM untuk Indonesia didatangkan lebih dari 10 negara. Dapatkah impor ini distop agar dapat menghemat devisa ? Tentunya dapat saja,bahkan kalau ada skenario, sampai terjadi distop,otomatis harga minyak dunia dapat turun dikarenakan akan terjadi oversuplai di pasar internasional. Tetapi konsekuensinya Indonesia hanya dapat berjalan secara normal selama 22 hari , disesuaikan dengan kondisi cadangan stok nasional BBM.

Lantas apa yang terjadi setelah impor di stop pada hari ke 23 ? 50 % dari populasi alat transportasi di Indonesia tidak dapat berjalan/bergerak. Begitu juga dengan 50% kendaraan TNI/Polisi yang ada, seperti Kapal patroli angkatan laut,panser,tank, pesawat tempur,motor/mobil patroli, Disini juga menandakan bahwa pada hari ke 23 sudah tidak ada lagi pertumbuhan ekonomi.Fenomena ini juga sejalan dengan para ahli strategis dari negara2 industri yang selalu berpedoman bahwa :


“ Energy is the lifeblood of the world economy. Cut off the flow of energy and the economy will die.Cadangan Minyak IndonesiaDalam menelusuri hal status cadangan terbukti (proven reserved) sumber energi,khususnya minyak mentah diIndonesia ternyata didapatkan suatu kejanggalan dimana selalu disebutkan oleh berbagai tokoh terkemuka di pemerintahan diberbagai forum dengan menyatakan bahwa cadangan minyak akan habis dalam jangka waktu 18 tahun. Pernyataan itu dikutip dari berbagai narasumber dalam rentang waktu tahun yang berbeda beda.Jadi jangka waktu 18 tahun seolah olah merupakan patokan waktu akan habisnya cadangan minyak di Indonesia.Bahkan ada beberapa pernyatan yang sudah tidak lagi bisa membedakan antara terbukti (proven) dan potensi (probable). Sebagaimana kita ketahui bahwa angka cadangan minyak mentah yang resmi dari pemerintah merupakan barometer untuk mengambil langkah langkah strategis kedepan dan juga merupakan suatu landasan ketahanan nasional yang sangat fundamental bagi suatu negara.Sesuai dengan sifatnya minyak mentah (non renewable) tentunya cadangan yang terbukti itu akan mengalami penurunan produksi sejalan dengan waktu . Sesuai dengan ketersediannya data, pernyataan patokan cadangan minyak yang dinyatakan dalam waktu 18 tahun itu dimulai pada tahun 1988 dan dapat diuraikan dibawah ini sbb :

  1. Pada tanggal 9-10 Agustus,1988 ,Dalam Lokakarya Energi-World Energy Conference,salah satu pembawa makalah Dr. Ing Negah Suja -Kepala Divisi Perencanaan Sisitem PLN, dengan judul “ Peranan Batubara dan Gas Alam bagi pembangkit tenaga Listrik di Indonesia “ mengatakan bahwa cadangan minyak yang telah terbukti akan habis terpakai dalam 18 tahun.
  2. 12 tahun kemudian,Pada tanggal 11 September,2000, di harian Kompas,diberitakan bahwa Direktur Jenderal (Dirjen) Migas Departemen Pertambangan dan Energi, Rachmat Sudibyo mengatakan jika masyarakat tidak bisa menekan angka pemakaian minyak bumi, diperkirakan dalam waktu tujuh tahun cadangan minyak Indonesia akan habis. Bahkan, dalam waktu lima tahun Indonesia akan menjadi pengimpor neto (net importer) minyak bumi. "Cadangan minyak pasti kita hanya 4,8 milyar barrel. Sementara, setiap tahun Indonesia memproduksi 550 juta barel atau sekitar empat-lima persen," .Sebenarnya cadangan minyak Indonesia diperkirakan 9,5 milyar barrel. Namun, cadangan pasti hanyalah 4,8 milyar barrel. "Sisanya, cadangan probable dan possible. Artinya, diduga ada cadangan minyak, namun harus dibuktikan dengan pengeboran," jelas Rachmat.2.) 16 Tahun kemudian, , Di harian KOMPAS, 27 January,2004 Kepala BP HULU MIGAS Rachmat Sudibyo di Pekanbaru menyampaikan bahwa Cadangan minyak Indonesia cukup untuk kebutuhan selama 18 tahun. Cadangan minyak Indonesia 9 milyar.
  3. 17 tahun kemudian, tanggal 24 Maret,2005 Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas, Dedi M Masykur Riyadi dalam diskusi kebijakan kenaikan harga BBM di Gedung Depkeu, Jakarta, mengatakan Cadangan minyak bumi Indonesia semakin menipis. Indonesia diperkirakan hanya memiliki sekitar 9 miliar barel. Dengan tingkat produksi 500 juta barel per tahun cadangan ini akan habis dalam 18 tahun mendatang.
  4. Tanggal 26 September,2005 , Koordinator Staf Ahli ESDM, Hikman Manaf di Pekanbaru, mengatakan : “ dari segi suplai energi fosil khususnya minyak bumi semakin terbatas dan akan habis, padahal tingkat kebutuhan dan ketergantungan masyarakat masih sangat tinggi, Karena itu, jika tidak ada pembaruan dalam bidang teknologi saat ini, cadangan minyak bumi Indonesia hanya tinggal 18 tahun mendatang,"
  5. Pada tanggal 25 October,2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungan kerjanya ke Provinsi Jambi yang juga didampingi Ny Ani Bambang Yudhoyono, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yoesgiantoro, Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin dan dihadiri beberapa Duta Besar negara sahabat, mengemukakan ; “ Krisis besar Energi akan terjadi jika masyarakat tidak melakukan efisiensi penggunaan energi dan BBM, karena cadangan minyak Indonesia diperkirakan tinggal 18 tahun lagi, sedangkan untuk cadangan gas tinggal 16 tahun lagi dan cadangan batubara 100 tahun lagi.
  6. Dalam acara membuka gelar Teknologi Tepat Guna Nasional VII di Palembang dikatakan : “ pada beberapa pertemuan,Presiden Susilo Bambang Yudoyono selalu mengutip hasil kajian Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tentang kondisi energi negeri ini. Menurut kalkulasi departemen itu, jika tidak ada eksplorasi baru, cadangan minyak Indonesia hanya cukup untuk 18 tahun. Sementara cadangan gas tersisa 60 tahun dan batu bara 150 tahun. Penggunaan energi akan terus bertambah. Kita harus menyiapkan energi untuk 10 tahun mendatang bagi 250 juta bahkan 300 juta orang,".
  7. Pada tanggal 27 Oktober,2005. President Indonesian Association of Geologists, Andang Bachtiar saat menjadi pembicara di acara ''One Day Short Course of Geologists'' di Universitas Brawijaya, Kota Malang, Jawa Timur, cadangan minyak Indonesia semakin menipis. Menurut perhitungan, cadangan minyak akan habis digunakan selama 18 tahun kedepan. Cadangan minyak yang tersimpan saat ini diperkirakan mencapai 9 miliar barel. Sedangkan produksi minyak tiap hari mencapai 1,1 juta barel. Menurutnya, total cadangan minyak yang mencapai 9 miliar barel itu berada di 66 cekungan. Tetapi, baru 16 cekungan saja yang digarap secara optimal. Separuh cadangan minyak itu berada di Riau, Kalimantan, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
  8. 18 tahun kemudian, pada tanggal April 2006.Menneg PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Makalah Upaya Penghematan Konsumsi BBM Sektor Transportasi ; “ Krisis cadangan energi di Indonesia terutama diakibatkan oleh tingginya pertumbuhan konsumsi BBM di satu sisi, dan di sisi lain semakin berkurangnya cadangan BBM, yang ditunjukkan oleh semakin menurunnya rasio cadangan terhadap produksi. Dengan tingkat produksi minyak bumi sebesar 500 juta barel per tahun, dan cadangan terbukti sebesar 9 miliar barel, maka cadangan minyak akan habis dalam waktu 18 tahun.”
  9. Pada majalah Busineesweek,wawancara PROF.Dr. SUBROTO, Mantan Menteri Pertambangan dan Sekretaris Jendral OPEC,pada judul berita ASING BISA EKSPLORASI BESAR_BESARAN.hal 12 menjawab pertanyaan wartawan dengan mengatakan : Cadangan minyak kira kira tinggal 18 tahun.Gas kira kira masih cukup untuk 40 tahun dan batu bara masih 100 tahun.
  10. LEMHANAS (situs net) EXECUTIVE SUMMARY - SUMBER ENERGI ALTERNATIF MENUJU KETAHANAN ENERGI NASIONAL (Kedeputian Bidang Kajian Lemhannas RI), 2006 . “ Cadangan minyak bumi terbukti saat ini diperkirakan sebesar 9 milyar barel, dengan tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barrel per tahun, maka cadangan tersebut dapat habis dalam waktu sekitar 18 tahun.
  11. 23 Februari 2006. Ratna Ariyati, Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,. workshop bagi media cetak dan elektronik mengenai "Etanol Jagung sebagai Sumber Energi Alternatif" dikatakan Pemerintah tetap mendorong pemanfaatan sumber energi alternatif. Dikarenakan cadangan minyak pasti Indonesia hanya 4,8 miliar barrel. Sementara setiap tahun Indonesia memproduksi 550 juta barrel. Jika masyarakat tidak dapat menekan pemakaian minyak bumi, diperkirakan dalam waktu 7 (tujuh) tahun cadangan minyak akan habis. Bahkan dalam waktu 5 (lima) tahun Indonesia bisa menjadi pengimpor neto (net importer) minyak bumi.
  12. November 2002, Suseno , Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor; dengan judul Membangun Sektor Kelautan dan Perikanan Tangguh Indonesia : A Prime Mover Sector Dosen : Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)Prof Dr John Haluan Dikutip “ Menurut Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 milyar barel diantaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 milyar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut dalam. “
  13. 19 tahun kemudian, Pada tanggal 26 Maret, 2007 Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudono, M.S. guru besar Fakultas Teknik Undip Semarang mengatakan Indonesia saat ini memang masih menjadi anggota negara-negara pengekspor minyak (OPEC), namun secara riil sudah menjadi pengimpor, karena produksinya lebih sedikit dibandingkan kebutuhannya. "Produksi minyak Indonesia kini sekitar satu juta barel per hari, tetapi kebutuhannya mencapai 1,3 juta barel sehingga kekurangan 300.000 barel harus dipenuhi dari impor, cadangan minyak Indonesia tinggal sekitar 0,5 persen dari cadangan minyak dunia, sedangkan cadangan gas sekitar 1,7 persen dari cadangan dunia. Diperkirakan 18 tahun yang akan datang minyak akan habis dan 50 tahun kemudian cadangan gas habis juga bila tidak ditemukan sumber baru.
  14. Pada awal tahun 2007,Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pesan melalui berapa media elektronik yang disponsori oleh suatu yayasan, untuk menggalakkan penggunaan bahan bahan bakar nabati dan juga untuk melakukan hemat energi karena cadangan minyak kita akan habis 18 tahun lagi.(Tayangan ini akhirnya direkomendasikan oleh penulis untuk diberhentikan karena dianggap sangat “misleading” dengan dasar pertimbangan kronologis yang telah diuraikan diatas tersebut).

Oil Reserve Uncertainties

Dari uraian data diatas tersebut tercermin bahwa Indonesia masih belum mempunyai keseragaman pandangan atas potensi cadangan energinya. Masih terdapat kesimpangsiuran atas pemahaman cadangan energi yang dapat diandalkan. Klasifikasi atas cadangan minyak dan gas dari suatucekungan berupa P1 merupakan cadangan terbukti, ( 90% = minyak dapat diproduksi vs 10%), P2 cadangan probable P2 (50% vs50%) dan P3 cadangan potensial (10% vs 90%).

Penyampaian pesan dengan mengatakan bahwa minyak itu akan habis merupakan persepsi yang sangat keliru. Begitu juga dengan status Negara atas kebutuhan dalam negrinya, apakah posisi Indonesia itu masih net oil exporter ataupun net oil importer. Ada sebagaian kalangan yang mengatakan bahwa Indonesia masih tetap sebagai anggota OPEC dengan pertimbangan karena kemampuan produksi gas alam dan batubara (?) bila disetarakan dengan produksi minyak dalam negeri setara dengan 4,5 juta barel per hari,berarti akan jauh dapat melampui kebutuhan konsumsi minyak dalam negri dan masih mempunyai kemampuan untuk membeli minyak dalam volume yang sebesar apapun sekalipun. Kalau memang kondisi itu dipakai sebagai justifikasinya ,lantas akan timbul suatu pertanyaan kenapa pemerintah menaikan harga BBM sampai lebih dari 100% pada tahun 2005 ?. Mengapa masih terdapatnya gangguan suplai di berbagai daerah dikarenakan kekurangan pasokan,bahkan pemadaman listrik di Kalimantan Timur masih terus berjalan sampai detik ini.? Seperti diketahui bersama, semua anggota OPEC memberikan subsidi yang sangat signifikan diberbagai sektor . Menurut para ahli geologis terkemuka di dunia bahwa cadangan minyak dunia telah mencapai peak production ,pada dekade 80 an. Alasan pernyataan itu disebabkan karena sudah tidak ada lagi temuan temuan cadangan minyak yang besar atau lebih dikenal dengan istilah elephant reservoir ,akan tetapi bukan habis minyaknya. Minyak tidak mungkin habis,yang menjadi persoalan itu semakin sulitnya ditemukan ladang minyak ,dikarenakan medannya semakin sulit untuk melakukan explorasi seperti laut dalam dan remote area ,sedangkan bila ditemukan,cadangannya tidak begitu besar,meskipun masih ekonomis. Untuk itu tidak salahnya bila mengutip pandangan Anthony H. Cordsmen yang mengulas mengenai definisi cadangan minyak yang diberlakukan diberbagai Negara dengan mengatakan sbb :


Reserves are conservative estimates prepared by engineers and relate to the quantity of crude oil and natural gas in a reservoir currently available for production given realistic costs, time frames, and production techniques. Active Reserves are those extractable within 20 years or less. Inactive Reserves are those which are known to exist, but are not extractable within 20 years, usually due to inadequate technologies, such as the enhanced recovery techniques discussed herein earlier.Resources are geologists' optimistic estimates of undiscovered crude oil and natural gas theoretically present in an area. Resources do not necessarily reserves make.Governments, academics and journalists typically talk in terms of implied resources, and reinforce each others' inflated numbers through design or ignorance, while oil companies focus on the reality of bottom line reserves.Pernyataan diatas tersebut diperkuat lagi oleh Colin J. Campbell, sebagai petroleum consultant dengan mengatakan : The technical aspects of reserve estimation are not the main problem: it is in the reporting of them that difficulties arise. There are many vested interests involved, and it suits them to work in an environment of poor and non-standard definitions and to be free of audit. They can pretty much say what suits them." Governments, as usual, are the worst offenders. The bigger the reserves a country claims, the easier it is for them to arrange international lines of credit, float bond issues .


Bila mengulas pernyataan dari kedua ahli analis cadangan minyak diatas tersebut, terdapat perbedaan pandangan antara angka cadangan minyak yang disebutkan oleh pemerintah dan perusahaan minyak. Hal itu dapat dipahami mengingat dari pihak pemerintah mempunyai kecenderungan untuk menyebutkan angka cadangan potesial,sedangkan pihak perusahaan minyak berdasarkan cadangan terbukti yang mempunyai nilai ekonomis/komersial. Dengan harga minyak mentah berkisar antara US$ 60 per barel,untuk mengurangi ketergantungan atas energi fosil,alternative yang dapat dikembangkan yaitu bahan bakar nabati(BBN), dimana dapat diperoleh dari hasil penyulingan bahan baku kelapa sawit,jarak,jagung,singkong dll.Perlu ditekankan juga bahwa ternyata BBN ini tidak sepenuhnya dapat mensubtitusi atas BBM. Minimal hanya dapat mengurangi konsumsi,dan itupun masih dalam rasio yang sangat rendah.Sebagai contoh,dengan bahan bakar yang sekarang beredar di pasaran berupa biosolar dimana untuk menghasilkan 10 liter, komposisinya sekitar 0.5 liter nabati dan 9.5 liter fosil. Jadi terlihat dengan sangat jelas sekali bahwa energi fosil masih mempunyai peran sangat sentral dan strategis. Ditengah tengah Indonesia sebagai pengekspor LNG,ternyata di dalam negri mengalami deficit.dan pengertiannya untuk menutup deficit itu,berarti juga harus impor.Tidak jauh berbeda dengan kondisi LPG,yang harus impor juga. Sederetan kebutuhan primer yang harus diimpor ini dikemudian hari akan meredusir ketahanan ekonomi Indonesia.Adanya Ketetapan MPR No VII tahun 2001 tentang Visi Indonesia 2020 dengan pencanangan untuk kemajuan di segala bidang bagi rakyat Indonesia dan juga adanya gagasan visi Indonesia 2030 untuk menuju kemakmuran, Energi Security mempunyai peran strategis unutk dapat mencapai tujuan tersebut. Kedua visi tersebut akan dapat tercapai hanya bila Indonesia ditunjang dengan adanya jaminan suplai energi yang dapat diandalkan. Kemajuan ataupun kemakmuran itu artinya mentargetkan pertumbuhan ekonomi minimal 5 persen per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan itu, diprojeksikan tingkat konsumsi energi dalam negri pada tahun 2020 telah mencapai sekitar 4 juta bph,sedangkan kemampuan produksi nasional Indonesia pada tahun itu tinggal 600 ribu bph.Untuk menghindar terjadinya stagnan atas pertumbuhan ekonomi, Indonesia harus impor sekitar 3,4 juta bph. Akan menjadi suatu pertanyaan berapa harga minyak pada tahun 2020,begitu juga pada tahunu 2030 dan bagaimana strategi Indonesia untuk menangani Energy Security ? Bila Energy Security tidak dirancang untuk menghadapi tahun tahun mendatang,sepertinya Indonesia akan menghadapi kesulitan untuk memenuhi harapan Tap MPR No. VII tahun 2001 yang pesannya menuju Indonesia adil ,sejahtera,makmur dan mandiri.Memepelajari uraian diatas,tidak ada salahnya kalau Indonesia mencermati pandangan Manmohan Singh sebagai Perdana Mentri India yang merasakan sudah jauh tertinggal dalam merancang Energy Security. India saat ini harus impor minyak 1,5 juta barel per hari. “ New Delhi would have to accelerate its efforts in this area. "I find China ahead of us in planning for the future in the field of energy security, We can no longer be complacent and must learn to think strategically, to think ahead, and to act swiftly and decisively."

Indonesia keluar dari OPEC atas pertimbangan Geopolitik “ Energy Security”



" Indonesia, the only South East Asian member of the Organization of Petroleum Exporting Countries, became a net crude-oil importer early this year after domestic production fell sharply following several years with little fresh investment in exploration and production."

President Republic of Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono said on Wall Street Journal ( October 5, 2005 )


Setelah tertunda tunda sejak pemerintah mengumumkan kenaikan harga minyak yang untuk kedua kalinya pada tanggal 1 oktober, 2005 ,akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan untuk segera keluar dari OPEC begitu pengumuman kenaikan harga BBM bulan Mei 2008. Langkah yang diambil ini, meskipun agak terlambat,merupakan keputusan yang strategis dan dinilai sangat tepat. Terkecuali perpanjangan kontrak ladang minyak Cepu untuk dikelola oleh Pertamina,Untuk kesekian kalinya bahwa Presiden SBY telah mengambil keputusan yang berkaitan langsung dalam konteks prespektif geopolitik energi Indonesia, diantaranya :

  1. Tidak menghendaki kerjasama Indonesia dengan Malayasia dalam hal blok migas , Ambalat. Blok Ambalat merupakan bagian dari wilayah Indonesia

  2. Tidak menyetujui Defence Cooperation Agreement. (DCA) antara Republik Indonesia dengan Singapura. Wilayah yang dikehendaki oleh Singapura merupakan kandungan migas dan jalur transportasi migas(SLOC).

  3. Tidak memperpanjang kontrak ladang migas antara Pertamina dan ,Exxonmobil di Laut Natuna. Kandungan gas alam dikawasan ini sebesar 46,7tcf

  4. Tidak lagi menyebutkan cadangan minyak Indonesia akan habis 18 tahun lagi, setelah bertahun tahun dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sejak tahun 1988.

  5. Menegaskan kembali untuk keluar dari OPEC.

Seluruh keputusan strategis ini tidak lain untuk mengutamakan kepentingan nasional Indonesia dalam menghadapi era globalisasi dan juga menghadapi konstelasi tatanan dunia baru pada abad 21. Hal ini juga sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Deep Stoat dalam kajian strategisnya untuk negara negara maju yang selalu menempatkan aspek minyak sebagai agenda kepentingan nasional dengan mengatakan : “ If you would understand world geopolitics today,follow the OIL” .Untuk memperkuat pernyataan tersebut dan mendapat gambaran bagaimana faktor geopolitik energi yang menentukan kebijakan suatu Negara,kiranya dapat dilihat juga pada diagram yang dikeluarkan oleh National Petroleum Council,Amerika Serikat.

Sumber : NPC
Terlihat pada diagaram tersebut,ada tiga komponen utama untuk menetapkan suatu kebijakan politik yang berkaitan dengan energi antara lain : ,Supply,Demand, dan Technology.Ketiga komponen ini saling keterkaitan satu sama lain(interchange) dengan landasannya kondisi geopolitik yang mempunyai peran sangat sentral dan strategis.Untuk mendapatkan penjelasan teoriteori dasar geopolitik , kiranya dapat dikutip dari pencetusnya yaitu Professor Friedrich Ratzel(1844-1904), German Professor Rudolf Kjellen (1864-1922), SwedishSir Halford Mackinder (1861-1946) British Dari ketiga tokoh geopoitik tersebut dimana masing2 mempunyai penekanan teorinya,namun pada intinya terdapat persamaan esensi yang dapat diringkas sebagai berikut :

It must be regarded as a science bordering on geography, history,political science and international relations. The politician,the military planner and the diplomat can use geopolitics as a method to analyze how geographical factors can be of importants when planning.Geopolitics as the destiny

Kondisi geografis Indonesia,diantaranya sumber minyak mentah, sejak memasuki tahun 2004 sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negri sendiri.Meskipun masih tersedia potensi cadangan energi fosil yang begitu besar,namun dalam hal liquid energi,termasuk gas alam mengalami deficit.

OPEC

Alasan yang mendasar dibentuknya OPEC itu untuk menstabilkan permintaan dunia atas minyak mentah dan kemudian pada tahun 1971 menyatukan penggunaan mata uang dollar untuk transaksi minyak. Seiring dengan permintaan dunia yang terus meningkat,OPEC sudah tidak dapat lagi berperan sebagai stabilisator. Seluruh dunia hanya tergantung kepada perannya Arab Saudi yang mempunyai kapasitas produksi 9,5 juta bph dan itupun masih memiliki kapasitas tambahan produksi sampai 2 juta bph.

Meskipun Indonesia sebagai anggota OPEC ,pada kenyataannya juga selalu tidak dapat mengantisipasi naiknya harga minyak yang sempat menyentuh US$ 138 per barel. Pemerintah selalu hanya bisa terkejut kejut seperti halnya negara negara pengimpor minyak lainnya. Dengan menggunakan data dari OPEC tahun 2005 dibawah ini,memperlihatkan posisi kapasitas produksi dari masing masing negara anggota. Berdasarkan pengamatan data dibawah ini,kiranya dapat disimpulkan bahwa anggota OPEC dapat dibagi menjadi empat katagori :

  1. Negara yang memproduksi secara maksimal,bahkan sudah tidak peduli lagi dengan ketentuan kuota al;Libya,Algeria,Iran,Kuwait,Nigeria dan Qatar,

  2. Negara dengan kapasitas dibawah kuota; Venezuela.

  3. Negara yang masih mempunyai surplus kapasitas produksi diluar batas ketentuan kuota seperti United Arab Emirates dan Arab Saudi.

  4. Negara dengan katagori special case seperti Irak dan Indonesia. Irak yang posisinya sudah tidak lagi masuk dalam kuota,sementara Indonesia merupakan negara satu satunya yang sudah menjadi net oil importer.



Salah satu media cetak terkemuka didunia dalam hal pemberitaan industri migas ,Oil & Gas journal dalam Enews pada tanggal 31 Oktober,06 memberikan suatu analisa produksi minyak dari anggota OPEC. Diberitakan bahwa, Arab Saudi, Iran,Aljazair dan United Arab Emirates (UAE) sepakat mulai tanggal 1 November,06 untuk mengurangi produksi secara proposional sampai 1.2 juta barel per hari (bph) agar output produksi OPEC menjadi 26.3 juta bph. Pertimbangan pengurangan produksi ini dikarenakan adanya kecenderungan penurunan harga minyak yang sangat drastis dari US$75 per barel menjadi US$ 58 per barel. Dari sini terlihat jelas sekali bahwa negara OPEC,khususnya di kawasan Heartland memang menghendaki agar harga minyak kembali berada pada sekitar diatas US$ 60 per barel. Yang menarik dari laporan jurnal tersebut yakni adanya pernyataan yang mengatakan Indonesia tidak akan mengurangi produksinya.sedangkan negara anggota lainnya seperti, Venezuela dan Nigeria memang mengakui mengalami penurunan produksi. Disebutkan juga bahwa,Dalam catatan OPEC, yang dianggap sudah out of date,Indonesia disebutkan masih mempunyai kapasitas produksi 1,45 juta barel per hari.Padahal kenyataannya Indonesia pada bulan September,2006 hanya mampu berproduksi 862,900 barel per hari.

Energy Reshape Policy

Keputusan Indonesia untu keluar dari OPEC secara phycsiologis memang agak berat, mengingat kebersamaan dan perannya sejak tahun 1962. namun sejalan dengan waktu dan dikarenakan tingkat produksi nasional mengalami penurunan secara alami,tentunya Indonesai harus mengambil sikap. Dan terlebih lagi dikarenakan sejak tahun 2004,Indonesia sudah merupakan bagian dari pemicu tingginya harga minyak internasional dimana ,kebutuhan impor Indonesia mewakili lebih dari 1 % dari tingkat konsumsi dunia sebesar 85 juta bph. Berikut dibawah ini merupakan daftar negara2 pengimpor minyak yang sangat signifikan.

Top World Oil Net Importers, 2004*
Country Net Oil Imports (million bbl per day)

  1. United States America, 12.1 million bbl per day
  2. Japan, 5.3 million bbl per day

  3. China, 2.9 million bbl per day

  4. Germany, 2.4 million bbl per day

  5. South Korea, 2.2 million bbl per day

  6. France, 1.9 million bbl per day

  7. Italy, 1.7 million bbl per day

  8. Spain, 1.6 million bbl per day

  9. India, 1.5 million bbl per day

  10. Taiwan, 1.0 million bbl per day

*Table includes all countries that imported more than 1 million bbl/d net in 2004. EIA

Terdapat beberapa agenda politik baru bagi Indonesia dengan keluarnya dari OPEC,diantaranya ;

  1. Kebijakan politik Luar Negri

  2. Kebijakan politik Dalam Negri.

Kebijakan politik luar negri

Selama periode tahun 2004 sampai tahun 2008, Indonesia dengan mempertahankan diri sebagai anggota OPEC, .posisinya seperti tersandera sendiri oleh Negara Negara penghasil minyak lainya yang masih berstatus sebagai net oil exporter.Tersandera dalam pengertian posisi Indonesia untuk melakukan upaya kerjasama jangka panjang dalam hal mendapatkan suplai minyak apakah untuk refinery yang sudah ada maupun dengan membangun refinery yang baru. Para Negara signifikan net oil exporter, mempunyai anggapan terhadap Indonesia,bahwasanya bagaimana mungkin sebagai Negara anggota OPEC,yang selalu disimbulkan dengan pesta Dollar dari windfall profit pada tingginya harga minyak, mengalami shortage untuk memenuhi kobutuhan kosumsi dalam negri. Padahal posisi Indonesia sejak memasuki tahun 2004, sangat membutuhkan impor yang begitu besar ,dengan harga yang relative murah dan tanpa ada mengalami gangguan .Posisi ambiguiti inilah yang membikin sulit bagi Indonesia dalam upaya menjalankan OIL diplomacy dengan negara2 di kawasan Heartland.Terobosan Oil diplomacy yang baru saja dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan melakukan kerjasama dengan Iran perlu dilanjutkan dengan Negara lainya seperti Arab Saudi,Kuwait,UAE,Venezuela,Sudan dan Rusia.

Ada catatan menarik bahwa ketika Raja Arab Saudi,Abdullah melakukan kunjungan ke Cina untuk penandatanganan kerjasama suplai minyak,beliau tidak menyempatkan diri untuk berkunjung ke Indonesia.Ironisnya,beliau malahan berkunjung ke Malaysia,yang notabene bukan anggota OPEC. Mencermati kejadian ini, ada suatu rencana kedatangan beliau ke Indonesia pada akhir tahun 2007 yang dinyatakan oleh Duta Besar Arab Saudi untuk RI setelah melakukan sholat jumat bersama Presiden SBY di mesjid istana ke Presidenan tahun lalu. Sampai tulisan ini dibuat, belum ada lagi berita kelanjutannya. Dengan keluarnya Indonesia dari OPEC tentunya memperlihatkan sikap yang sangat jelas kepada dunia internasional bahwa Indonesia sudah memasuki new emerging country, Haus akan minyak seperti Cina dan India. Hal ini artinya Indonesia akan menunjukan strategi berkompetisi dengan negara2 lainnya untuk mendapatkan akses ke sumber2 energi(baca:minyak mentah). .Dalam kondisi ini tentunya Indonesia ,sebagai mantan angggota OPEC,yang telah mempunyai hubungan baik selama 46 tahun, akan mendapatkan berbagai keistimewaan,.Cina setiap hari impor 720 ribu barel dari Arab Saudi dan terus akan meningkat volumenya sejalan dengan rencana pembangunan dua refinery.Cina saat ini mempunyai produksi 3,5 juta barel per hari(bph) dan impor 3,5 juta bph,menjadikan total konsumsinya setiap hari sekitar 7 juta bph.

Kebijakan Politik Dalam Negri

Keluarnya Indonesia dari OPEC,membuat berbagai kalangan terbuka matanya bahwa Indonesia sudah tidak lagi seperti eranya oilbonanza atau net oil exporter . Kedepannya,sudah pasti akan sedikit membantu pemerintah untuk mensosialisasikan kenaikan harga BBM kepada masryarakat luas ketika harga minyak internasional sangat tinggi.Disamping itu juga akan membuka jalan lebar bagi pemerintah untuk membangun tenaga nuklir.

Pada waktu Indonesia masih sebagai net oil exporter dizaman orde baru dan tetap melakukan untuk menaikkan harga BBM,hal itu disebakan harga minyak dunia berada dibawah biaya produksinya.seperti yang terjadi pada tahun 1986. Harga minyak pada waktu itu berkisar antara US$6-8 per barel. Sementara biaya produksi minyak diberbagai Negara industri berkisar antara US$ 8-10 per barel,terkecuali dikawasan Heartland yang biayanya hanya dibawah US$ 1.50 per barel. Melihat situasi sekarang ini ,Indonesia harus impor minyak sebesar satu juta barel per hari dan pada saat yang bersamaan juga perlu memberikan harga BBM yang bersubsidi untuk berbagai kelompok masyarakat.

Setelah Indonesia menjadi net oil importer sudah sangat tidak mungkin lagi untuk kembali menjadi net oil exporter ,meskipun ladang minyak dari Cepu akan berproduksi atau ladang minyak lainnya. Profil kurva produksi dan konsumsi dibawah ini merupakan gambaran bagaimana Indonesai kedepan akan dihadapi dengan semakin lebarnya jarak antara tingkat produksi dan konsumsi.

Sumber :EIA
Jadi akan menjadi suatu pertanyaan ketika Presiden SBY sudah memutuskan untuk segera keluar dari OPEC,sementara Wakil Presiden JK mentargetkan untuk kembali masuk OPEC dalam jangka lima tahun mendatang pada tahun ,2013(Kompas 30/05/08). Pada tahun 2013 nanti,tingkat produksi Indonesia berkisar hanya 800 ribu bph,sementara tingkat konsumsinya sudah mencapai 1,6 juta bph.. Salah satu indikator pemicu tingginya konsumsi di dalam negri yakni dinamika perkembangan demokrasi. Ada 51 partai politik yang akan meramaikan kehidupan demokrasi di Indonesia.Sudah menjadi tradisi kalau melakukan kegiatan kampanye iring irngan dengan menggunakan sepeda motor/mobil .Kegiatan ini tentunya akan memicu konsumsi BBM.


Untuk lebih jelasnya tingkat produksi nasional dapat dilihat pada chart produksi yang dikeluarkan oleh Indonesain Petroleum Association. (IPA). Organisasi inilah yang mengayomi seluruh perusahan minyak beroperasi di Indonesia dan secara periodik memberikan data yang diprojeksikan tingkat produksinya. Kompilasi keseluruhan data ini yang mencerminkan kondisi aktual produksi minyak Indonesia.

Dari titik sini terlihat sangat jelas sekali bahwa masih belum ada keseragaman pandangan dalam perspektif geopolitik energi di Indonesia. Seyogyanya begitu Indonesia mengambil sikap untuk keluar dari OPEC, semua elemen dan masyarakat menentukan langkah strategis berikutnya bagaimana Indonesia meningkatkan stock nasional dari hanya 21 hari menjadi 30 hari atau bahkan kalau perlu mencapai 60 hari dan membuat iklim investasi migas yang harus kondusif. Merancang strategi negosiasi untuk tidak memperpanjang kontrak ladang minyak atau gas yang masih berproduksi. Menggalakkan alternative BBM , seperti biofuel. Sekarang ini ada 22 perusahaanyang yang telah mendapatkan dukungan dari pemerintah untuk mengembangan BBN,tapi ternyata hanya 3 perusahaan yang dapat berjalan.

Indonesia Korban Kenaikan Harga
Minyak Internasional

Analisis Industri Migas, Dirgo Purbo:



JAKARTA—Persoalan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di berbagai wilayah di Tanah Air belakangan ini selayaknya dilihat dari perspektif yang lebih luas. Kesulitan yang dihadapi PT Pertamina (Persero) juga dapat dipahami sebagai akibat dari pemberlakuan UU Migas No. 22/2001 yang kontroversial. Harga minyak dunia yang terus meroket hingga di atas US$ 60 per barel, telah menyebabkan Indonesia menjadi salah satu korbannya. Saat ini dan masa mendatang, minyak bumi memiliki bobot geopolitik yang teramat besar, bahkan dapat menentukan ketahanan ekonomi dan kebijakan suatu negara. Kasus Exxon Mobil yang kontraknya diperpanjang juga dapat dipahami membahayakan ketahanan ekonomi Indonesia.

Untuk memahami masalah ini lebih dalam, berikut wawancara dengan Dirgo Purbo, analis industri migas sekaligus pendiri Pusat Kajian Strategis untuk Kepentingan Nasional (Paskal).

Bagaimana komentar Anda tentang perpanjangan kontrak bagi ExxonMobil?
Perpanjangan kontrak yang diberikan oleh pemerintah itu jelas tidak memberikan keuntungan yang banyak kepada Indonesia, jika melihat perpetaan minyak di sektor hulu di Indonesia yang sangat lemah. Padahal potensi di situ besar sekali. Blok Cepu diperkirakan memiliki cadangan 750 juta barel. Jadi seharusnya kita bisa mengambil sikap perpanjangan itu seharusnya tidak dilakukan, kecuali nanti di 2010 ada negosiasi.

Berapa kira-kira keuntungan yang seharusnya bisa kita raup sepenuhnya?
Secara kasar begini saja. Blok Cepu itu tergolong shallow well atau ladang minyak di lapisan dangkal. Apalagi ini masih natural atau alami. Dengan demikian biaya produksi relatif rendah. Hitung saja biaya US$ 4-5 per barel. Ini harga estimasi. Harga minyak sekarang US$ 60 per barel. Kalau kita kembangkan secara gradual, secara kasar pun kita bisa melihat berapa besar keuntungan itu yang diperoleh. Katakanlah, mungkin dari 2-3 sumur yang dibuka sekitar 30.000 barel per hari, dikalikan US$ 50 per barel, artinya paling sedikit ada keuntungan bersih US$ 1,5 juta per hari.
Apa ini tidak memperkuat ketahanan ekonomi kita?
Kalau kita bicara tidak diperpanjang kontraknya, tahun 2010 siapa yang bisa memprediksi harga minyak saat itu? Apakah akan tetap US$ 60 per barel atau naik jadi US$ 70 per barel? Kemungkinannya?Kecenderungannya naik. Apa kita pernah dengar harga minyak turun? Tidak pernah. Mana ada sejarahnya. Cuma sebentar saja. Coba lihat catatan sejarah harga minyak dunia. Tatanan minyak dunia juga sudah berubah. Tidak ada lagi OPEC basket price. Siapa yang bisa mengembalikan dari US$ 60 per barel kembali ke US$ 50/barel? Tidak ada satu kekuatan yang bisa mengembalikan harga minyak. Kelangkaan BBM yang terjadi saat ini,

Anda melihat dimana akar permasalahannya?
Kalau kita bicara BBM, di sektor migas itu kan berada di hilir atau downstream. Sedangkan kalau kita bicara komprehensif, kita harus bicara di upstream (hulu). Jadi, siapa yang mengontrol BBM di bawah harus terlebih dulu mengontrol di upstream. Ini yang namanya pemahaman vertical integrated. Di sini kuncinya. Nah, ketika Pertamina masih belum menjadi korban dari UU Migas No. 22/2001, mereka jelas-jelas menguasai dan mengontrol upstream. Ini kunci strategisnya. Begitu UU Migas masuk, semua tatanan ini bubar. Prinsip dasar dari industri migas bubar semua. Menghadapi situasi Indonesia dimana sebagian kota di Sumatera dan Jawa mengalami kelangkaan BBM, ini bukan lagi dilihat soal telat pengapalan atau soal bongkar muat, tetapi sudah lebih soal bahwa Pertamina sudah tidak sanggup lagi menanggulangi biaya BBM yang sudah begitu tinggi, di luar jangkauan prediksinya. Kalau sudah begini, artinya tidak ada antisipasi. Sekarang Pertamina tidak punya ladang minyak di luar Indonesia. Jadi tidak mendapat jaminan suplai crude oil. Kalau tidak mendapat jaminan itu, artinya harus membayar minyak mentah ini di pasar internasional. Dan itu harus dibayar berapa pun yang ditawarkan. Selain itu, Indonesia harus berkompetisi dengan negara-negara yang sudah eksis dengan ladang-ladang minyak di luar wilayahnya. Artinya, kita harus berkompetisi dengan perusahaan minyak, dengan negara-negara maju yang daya belinya lebih besar dibanding kita. Ibaratnya cash flow-nya jauh lebih besar.

Sementara Indonesia, khususnya Pertamina, dihadapkan pada birokrasi, pencairan subsidi BBM melalui Departemen Keuangan berikut hirarkinya yang panjang, harus mendapatkan persetujuan dari parlemen, adalah mekanisme yang makan waktu. Sedangkan kalau kita bicara minyak, perkembangannya sangat cepat. Kalau kita tidak punya cadangan minyak yang besar untuk menjamin pembelian di luar, selesailah. Dan ini akibatnya bisa dilihat seperti yang terjadi saat ini. Kita harus bersaing dengan negara-negara besar, negara net oil importer lainnya. Posisi Indonesia sangat lemah (vulnerable) untuk menjadi korban dari harga minyak internasional. Bagaimana prediksi Anda tentang harga minyak ke depan?Harga minyak untuk ke depan sangat mungkin terus meningkat. Ini karena faktor geopolitiknya besar. Bobotnya hingga 90 persen. Pertama, indikasi Iran kemungkinan tidak akan menyuplai minyak ke AS menyusul Pemilu yang dimenangkan oleh kelompok garis keras. Kalau sudah begini, terjadi pergesekan kepentingan nasional. Ini menandakan bahwa AS harus bisa mencari alternatif sumber energi selain Iran untuk suplai jangka panjang. Konsekuensinya, berapa pun harganya pasti dibayar oleh AS. AS sedang menghadapi persaingan ketat dengan Cina dimana Cina dengan kebijakan energinya bagaimana mendapatkan jalur-jalur akses di seluruh penjuru dunia. Dan Cina mendapat prioritas utama dari Pemerintah Iran. Pasalnya, ada perjanjian pertukaran senjata dengan Iran. Faktor-faktor geopolitik inilah yang kemungkinan akan memicu harga minyak dunia terus melambung. Disamping itu Irak tidak memberi tanda-tanda menuju perdamaian, malah kekacauan intensitasnya makin besar. Dari dua negara ini (Iran dan Irak) yang notabene menentukan harga minyak dunia ini, maka sangat mungkin sekali harga minyak akan terus meroket.

Lantas apa yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia?
Sekarang menurut hemat saya, kita harus mengambil sikap. Mari kita pecahkan bersama masalah ini. Energi khususnya minyak di dalam negeri bukan semata-mata karena ini rezimnya baru. Siapa pun yang memerintah akan dihadapkan pada persoalan ini. Karena menurut estimasi kapasitas produksi minyak kita, tahun 2004 memang Indonesia benar-benar masuk net oil importer atau negara pengimpor minyak. Pengertiannya, konsumsi sudah jauh melebihi kapasitas produksi nasional. Kita tidak pernah menghitung bahwa ada suatu ketidakseimbangan bahwa konsumsi kita sudah jauh melebihi produksi nasional. Akibatnya, ketergantungan kita untuk mendapatkan produk hasil penyulingan berupa BBM yang tidak bisa kita tukar (swap) dengan minyak mentah. Dan BBM ini harus kita beli dengan harga berapa pun. Kalau pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi 5-6 persen, pada saat bersamaan kita membutuhkan energi untuk menggulirkan ekonomi dengan persentase sama dengan pertambahan pada tingkat sebelumnya. Nah, dimana kemampuan kita untuk menambah kebutuhan ini?Itu baru gambaran makro. Untuk mikro, memang Pertamina memiliki keunggulan kompetitif dalam hal distribusi BBM.

Tetapi sekarang, bagaimana kita menghadapi harga minyak begitu tinggi?
Pertamina membeli BBM dalam kurs dolar, harga jual disubsidi dan dibayar dalam kurs rupiah. Jadi intake-nya dalam rupiah. Dilihat dari kasat mata, ini sudah tidak benar. Komponen biaya BBM sekitar 80 persennya adalah dalam dolar AS. Selain itu, harganya berfluktuasi. Outputnya dipatok dalam rupiah. Pertanyaannya, mau sampai kapan kita bertahan dengan skema seperti itu? Anda melihat ada sesuatu di balik kondisi yang terjadi saat ini?Dari situasi seperti sekarang, saya melihat ada kecenderungan Indonesia dalam menghadapi shortage karena korban dari mekanisme subsidi BBM, secara tidak langsung akan menaikkan harga di pasar. Saat ini harga patokan dengan harga pasar masih sangat berbeda jauh.

Apakah ini menjelang November 2005 yang notabene perusahaan-perusahaan asing yang masuk dalam sektor hilir akan masuk juga?
Karena mereka pasti tidak akan mau jika perbedaan harga masih sangat jauh.Ada kecenderungan ke arah sana?November 2005 subsidi BBM rencananya mau dicabut. Kalau dicabut, artinya harga pasar internasional. Jadi buat perusahaan multinasional tidak ada masalah masuk ke Indonesia. Intinya, mereka baru mau masuk jika harga sudah sama antara harga patokan dengan harga pasar. Ini tinggal waktu saja.

Artinya bakal ada kenaikan harga?
Nah, kita harus jeli melihat bahwa jangan-jangan ini mengantisipasi pasar bebas di Indonesia. Atau mengakomodir kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional. Karena kalau mereka dalam kondisi sekarang, ada disparitas harga yang begitu menyolok, tidak akan mau mereka masuk. Meskipun SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) nanti pakai penjaga wanita yang seksi, belum tentu didatangi. Dan seberapa kuat mereka bersaing dengan Pertamina yang sekarang ini sudah benar-benar menguasai.

Dan bulan November 2005 juga fungsi distribusi minyak tanah yang dijalankan oleh Pertamina juga dicabut?
Itu konsekuensi dari UU Migas. Makanya dalam tahapan ini coba kita analisa kembali, apakah kita mau menghabiskan Pertamina? BUMN ini kan simbol dari perusahaan minyak Indonesia. Siapa sih yang tidak bangga dengan Pertamina? Apapun kondisinya, Pertamina itu kan simbol perusahaan minyak Indonesia. Kenapa kita tidak membanggakan ini bersama-sama? Malaysia bangga dengan Petronas-nya. Minimal kita ada kebanggaan. Kalau itu simbol kebanggaan bangsa Indonesia khususnya di sektor perminyakan dan kita ingin menyetarakan dengan perusahaan multinasional, ya kita harus konsekuen. Kita bangun bersama, kalau UU tidak benar ya kita kembalikan. Ironisnya begini. Sebelum UU No. 8/1971 tentang Pertamina, BUMN ini terbagi atas 3-4 perusahaan. Pemikir-pemikir strategis pada waktu itu berkesimpulan ini harus disatukan. Pengertiannya, menguasai mulai dari sektor hulu sampai hilir. Semua yang masuk harus lewat Pertamina. Apakah itu monopoli, itu lain cerita. Sekarang, begitu reformasi, semua itu bubar. Pertamina dipecah-pecah. Ironisnya, perusahaan-perusahaan minyak dunia di internasional justru melakukan merger. Semenjak 1998, semua perusahaan migas bergabung. BP dengan Amoco, Exxon dengan Mobil bergabung. Sementara Pertamina sendirian, dipecah-pecah lagi. Coba pikirkan ini. Bagaimana kita menghadapinya kalau kita bicara ketahanan nasional, ketahanan ekonomi.

Tetapi MK oke-oke saja dengan UU Migas?
Saya dengar ada satu dua pasal yang ditinjau. Ini yang mesti kita sekarang sedikit lihat ke belakang (review). Ini kelemahan kita bahwa sekarang kita berhadapan dengan semua perusahaan migas besar bergabung (merger) sementara Pertamina sendirian di Indonesia lalu dipecah-pecah untuk mengakomodasi atau berkompetisi dengan perusahaan besar itu. Saya mau bilang bahwa siapa yang menguasai sektor hulu, selebihnya tinggal mengatur sektor hilir. Mulai dari transportasi, refinery, distribusi BBM. Kalau di sektor hulu-nya masih ada peran pemerintah. Jika minyak masih di dalam perut bumi, itu hak pemerintah. Tetapi jika sudah dikeluarkan, maka itu menjadi hak perusahaan minyak. Ironisnya juga, dalam harga jual BBM, pemerintah kan sudah tidak punya kontrol lagi. Berapa pun keuntungan bagi perusahaan minyak ini, itu sudah free market. Paling-paling bagian pajak untuk pemerintah.

Menurut Anda, apa yang harus dilakukan untuk menarik investasi di sektor migas?
Saya melihat potensi Indonesia masih besar, masih menarik. Tetapi satu yang mengganjal adalah convenience atau kenyamanan. Sekarang, untuk aktivitas di lepas pantai atau offshore lebih disukai karena meski biaya lebih besar tetapi lebih sederhana, simpel mengerjakannya. Sementara kalau di daratan atau onshore dihadapkan pada berbagai masalah terutama dengan UU tentang Otonomi Daerah. Padahal ke depan, kita bersaing dengan negara tetangga yang lebih memberikan kenyamanan. Ini yang mahal harganya. Bagi perusahaan minyak, jika suatu wilayah memiliki prospek meskipun di wilayah itu ada konflik, itu masih bisa ditolerir. Indonesia sekarang relatif lebih stabil faktor keamanan. Ini yang perlu kita tingkatkan. Kita memberi semacam jaminan atau guarantee kepada investor. Kita jamin expenditure atau pengeluaran tidak melebihi karena hal-hal di daerah lokasi eksplorasi. Terus-terang banyak perusahaan migas multinasional yang mengeluh bahwa mereka tidak mendapatkan kenyamanan.