Ketika berbicara tentang dunia perminyakan (world oil) pada kenyataannya mempunyai nuansa politik sebesar 90% sedangkan sisanya yang 10% berbicara tentang minyak itu sendiri. Demikianlah apa yang diungkapkan oleh Guildford dalam buku Energy Policy yang ditulis pada tahun 1973. Dan pernyataan itu sudah terukir dalam sejarah bahwasanya, dibalik pertempuran-pertempuran besar dibelakang sengketa antar negara, dibalik perebutan kekuasaan dan kudeta, dibalik dukungan diam-diam kepada tentara pemberontak, serta di latar penyerbuan terang-terangan negara adidaya, ternyata minyak telah menjadi salah satu faktor penting dan penentu yang dapat mengubah wajah dunia. Kentalnya politik dalam aspek minyak bagai tergambar dengan gamblang dalam ucapan Georges Clemencau, salah seorang komandan tangguh pasukan Napoleon dalam Perang Dunia I (1914-1918), "Setetes minyak berharga sama seperti setetes darah dari prajurit kita. Minyak sama-sama diperlukan seperti darah". Jika minyak menduduki posisi yang begitu penting dan strategis sejak jaman dahulu kala, tentu tak heran jika masa sekarang banyak negara, terutama negara kaya dari dunia barat, berlomba-lomba ingin menguasai komoditas ini. Tentunya yang dimaksud dengan perkataan "minyak" disini lebih cenderung kepada minyak mentah (Crude Oil) yang diperoleh pada tingkat upstream (hulu). Karena disinilah yang nantinya akan menghasilkan bahan bakar minyak seperti avtur, bensin, premium, minyak tanah dan berbagai produk lainnya.
Dalam 35 artikel yang dirangkum dalam buku ini, Dirgo D.Purbo telah mengangkat berbagai isyu yang berhubungan erat dengan minyak dan politik di tingkat nasional, regional, dan internasional. Dan ternyata setelah diulas pada kumpulan tulisan di buku ini terlihat tampak jelas sekali bahwa aspek minyak mempunyai dimensi kebijakan keamanan nasional (national security) dan kebijakan politik luar negeri (foreign policy) dari pada suatu negara. Pandangannya yang jernih dan tajam, khas professional, tak bisa dilepaskan dari latar belakang Dirgo yang bekerja selama belasan tahun di beberapa perusahaan minyak multi nasional dan juga usahanya di bidang energi. Selain itu juga jaringannya yang luas di dunia perminyakan membuat Dirgo dapat menyajikan kisah-kisah dibelakang layar yang selama ini luput dari perhatian. Begitu jelinya analisanya seringkali dia juga tak segan bersikap tidak populis, ketika menurunkan artikel tentang ulasannya yang berjudul : Indonesia akan menjadi Net Oil Importer sekitar tahun 2004. yang ditulis pada pertengahan tahun 2002 di majalah Oil Plus dan yang terbaru berupa ulasan untuk mendukung pencabutan subsidi Bahan Bakar minyak (BBM). Dengan adanya suatu rencana pemerintah yang menghendaki untuk perpanjangan kontrak ladang minyak di propinsi Riau, termasuk yang di Cepu dan juga adanya rencana merubah UU Migas yang dari pemahaman vertical integrated menjadi "unbundling" diulas (lihat artikel Kepentingan Nasional dan Lebih Jauh Kepentingan Nasional Yang Terukur), telah diulas di berbagai naskah juga yang memberikan pandangan lain. Naskah-naskah itu dipublikasikan di berbagai media beberapa tahun belakangan ini dengan maksud dan tujuan tidak lebih supaya kebijakan energi ditata kembali secara fundamental sehingga Indonesia kedepan mempunyai posisi sangat strategis agar dapat menghadapi tantangan ekonomi global. Tulusan-tulisan dalam buku ini menjadi ruang wacana yang semakin menarik, karena penulisannya memasukkan unsur geopolitik dalam setiap analisanya, sebuah wilayah yang sangat jarang disentuh dalam tulisan praktisi perminyakan lain, kendati The Seven Sisters : The Great Oil Company and The Worl They Made, Sebuah buku klasik tentang kedahsyatan politik mimyak karya Antohony Sampson telah diluncurkan sejak tahun 1975. Artikel-artikel yang ditulisnya dalam rentang waktu delapan tahun (1997-2005) ini, dianalisa tentunya dengan dukungan atas data dan fakta yang lengkap.
Minyak Mengubah Sejarah Dunia
Sebelum jajak pendapat September 1999, Timor Timur adalah provinsi Indonesia yang ke –27. Wilayah ini memang selalu sarat pergolakan, isyu keamanan dan isyu hak asasi manusia ( HAM ) tak pernah lepas sepanjang perjalanan sejarahnya. Daerah ujung Timur yang kerap diberitakan sebagai daerah ‘miskin’ dan ‘ potensi sumber daya alamnya marjinal itu sontak menjadi sorotan kalangan perminyakan, ketika terbetik kabar di Celah Timor tersimpan kekayaan minyak nyaris mencapai lima miliar barel. Kisah menarik ini dibalik layar lepasnya Timor-Timur yang akhirnya merdeka menjadi Timor Leste itu dituangkan dalam dua artikel yang sarat data (lihat Dibalik Potensi Kandungan Migas di Timor Gap, halaman 7; Deal of The Century, 95). Yang lebih menariknya, banyak kalangan menyatakan cadangan minyak dicelah Timor tidak ada sama sekali justru, ironisnya disampaikan oleh pejabat pemerintah yang membidangi sektor energi.
Kisah lain yang mengubah posisi tawar negara-negara Arab terhadap dunia Barat juga terjadi ketika kekuatan politik minyak ini memporak-porandakan perekonomiannya. Pada tahun 1973, negara-negara Arab dengan cerdik menggunakan senjata minyaknya (oil weapon) untuk melawan negara-negara yang mendukung agnessor Israel dan melawan perang ekonomi (economic war). Pasokan ke AS dan Negara-negara Barat yang diidentifikasikan sebagai pendukung Israel dipangkas hingga 25%. Dampaknya sudah ditebak, sebagian negara mengalami kelumpuhan ekonomi dan harga minyak meroket hingga lima kali lipat dari USD 2,5 hingga USD 11,5 seperti yang diulas dalam artikel Sekilas Mungukur Kekuatan "Oil Weapon". Dideskripsikan bagaimana minyak berperan sebagai sebuah kekuatan yang lebih efektif dari mesin-mesin perang konvensional. Hingga akhir tahun 1975, tercatat tak kurang dari 25.000 transaksi bisnis yang mewakili 90% perusahaan AS terpaksa dibatalkan, Inggris terpaksa mengurangi rasio perdagangannya 10:1 ke Israel, Jerman barat membatalkan investasi 10.000 unit kendaraan ke Israel, 336 perusahaan Perancis masuk daftar hitam, 150 perusahaan Jepang juga diboikot, nasib serupa dialami pula oleh koleganya dari Italia, Belgia, dan Spanyol. "Dunia jangan pernah melupakan bahwa senjata Negara Arab, oil weapon, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan senjata nuklir," demikian pernyataan keras Ismail Fahmi, Menteri Luar Negeri Mesir kala itu. Dan senjata itu dapat digunakan lagi sewaktu-waktu jika situasi membutuhkan.
Ketika Amerika Serikat menyerang Irak untuk kedua kalinya pada tahun 2003, dibalik semua alasan pembenaran untuk menyerang Negara Teluk itu, seperti berkomplot dengan teroris hingga menyimpan senjata pemusnah massal – yang belakangan ternyata diakui tidak terbukti kebenarannya ternyata minyak adalah bagian dari kisah dibalik layar yang menjadi pemicunya, dan itu telah diuraikan oleh Dirgo sebulan sebelum AS menyerang Irak, pada artikel berjudul "Haruskah AS menyerang Irak?"
Data yang diungkapkan oleh geolog terkemuka menyebutkan bahwa Irak ternyata menyimpan potensi kandungan minyak sebanyak 112 miliar barel, yang menempatkan Negara itu sebagai penghasil minyak nomor dua setelah Arab Saudi. Sebagaimana diketahui, bahwa 45% kebutuhan minyak dalam negeri Amerika dipasok dari Timur Tengah.
Minyak Sebagai Simbol Kekuatan Bangsa
Diterbitkan Oleh

Tidak ada komentar:
Posting Komentar