Rabu, 17 September 2008

Kata Pengantar

Setetes Minyak, Sebuah Simbol Kekuatan Bangsa, dan
Segudang Kepentingan Nasional


Ketika berbicara tentang dunia perminyakan (world oil) pada kenyataannya mempunyai nuansa politik sebesar 90% sedangkan sisanya yang 10% berbicara tentang minyak itu sendiri. Demikianlah apa yang diungkapkan oleh Guildford dalam buku Energy Policy yang ditulis pada tahun 1973. Dan pernyataan itu sudah terukir dalam sejarah bahwasanya, dibalik pertempuran-pertempuran besar dibelakang sengketa antar negara, dibalik perebutan kekuasaan dan kudeta, dibalik dukungan diam-diam kepada tentara pemberontak, serta di latar penyerbuan terang-terangan negara adidaya, ternyata minyak telah menjadi salah satu faktor penting dan penentu yang dapat mengubah wajah dunia. Kentalnya politik dalam aspek minyak bagai tergambar dengan gamblang dalam ucapan Georges Clemencau, salah seorang komandan tangguh pasukan Napoleon dalam Perang Dunia I (1914-1918), "Setetes minyak berharga sama seperti setetes darah dari prajurit kita. Minyak sama-sama diperlukan seperti darah". Jika minyak menduduki posisi yang begitu penting dan strategis sejak jaman dahulu kala, tentu tak heran jika masa sekarang banyak negara, terutama negara kaya dari dunia barat, berlomba-lomba ingin menguasai komoditas ini. Tentunya yang dimaksud dengan perkataan "minyak" disini lebih cenderung kepada minyak mentah (Crude Oil) yang diperoleh pada tingkat upstream (hulu). Karena disinilah yang nantinya akan menghasilkan bahan bakar minyak seperti avtur, bensin, premium, minyak tanah dan berbagai produk lainnya.

Dalam 35 artikel yang dirangkum dalam buku ini, Dirgo D.Purbo telah mengangkat berbagai isyu yang berhubungan erat dengan minyak dan politik di tingkat nasional, regional, dan internasional. Dan ternyata setelah diulas pada kumpulan tulisan di buku ini terlihat tampak jelas sekali bahwa aspek minyak mempunyai dimensi kebijakan keamanan nasional (national security) dan kebijakan politik luar negeri (foreign policy) dari pada suatu negara. Pandangannya yang jernih dan tajam, khas professional, tak bisa dilepaskan dari latar belakang Dirgo yang bekerja selama belasan tahun di beberapa perusahaan minyak multi nasional dan juga usahanya di bidang energi. Selain itu juga jaringannya yang luas di dunia perminyakan membuat Dirgo dapat menyajikan kisah-kisah dibelakang layar yang selama ini luput dari perhatian. Begitu jelinya analisanya seringkali dia juga tak segan bersikap tidak populis, ketika menurunkan artikel tentang ulasannya yang berjudul : Indonesia akan menjadi Net Oil Importer sekitar tahun 2004. yang ditulis pada pertengahan tahun 2002 di majalah Oil Plus dan yang terbaru berupa ulasan untuk mendukung pencabutan subsidi Bahan Bakar minyak (BBM). Dengan adanya suatu rencana pemerintah yang menghendaki untuk perpanjangan kontrak ladang minyak di propinsi Riau, termasuk yang di Cepu dan juga adanya rencana merubah UU Migas yang dari pemahaman vertical integrated menjadi "unbundling" diulas (lihat artikel Kepentingan Nasional dan Lebih Jauh Kepentingan Nasional Yang Terukur), telah diulas di berbagai naskah juga yang memberikan pandangan lain. Naskah-naskah itu dipublikasikan di berbagai media beberapa tahun belakangan ini dengan maksud dan tujuan tidak lebih supaya kebijakan energi ditata kembali secara fundamental sehingga Indonesia kedepan mempunyai posisi sangat strategis agar dapat menghadapi tantangan ekonomi global. Tulusan-tulisan dalam buku ini menjadi ruang wacana yang semakin menarik, karena penulisannya memasukkan unsur geopolitik dalam setiap analisanya, sebuah wilayah yang sangat jarang disentuh dalam tulisan praktisi perminyakan lain, kendati The Seven Sisters : The Great Oil Company and The Worl They Made, Sebuah buku klasik tentang kedahsyatan politik mimyak karya Antohony Sampson telah diluncurkan sejak tahun 1975. Artikel-artikel yang ditulisnya dalam rentang waktu delapan tahun (1997-2005) ini, dianalisa tentunya dengan dukungan atas data dan fakta yang lengkap.

Minyak Mengubah Sejarah Dunia

Sebelum jajak pendapat September 1999, Timor Timur adalah provinsi Indonesia yang ke –27. Wilayah ini memang selalu sarat pergolakan, isyu keamanan dan isyu hak asasi manusia ( HAM ) tak pernah lepas sepanjang perjalanan sejarahnya. Daerah ujung Timur yang kerap diberitakan sebagai daerah ‘miskin’ dan ‘ potensi sumber daya alamnya marjinal itu sontak menjadi sorotan kalangan perminyakan, ketika terbetik kabar di Celah Timor tersimpan kekayaan minyak nyaris mencapai lima miliar barel. Kisah menarik ini dibalik layar lepasnya Timor-Timur yang akhirnya merdeka menjadi Timor Leste itu dituangkan dalam dua artikel yang sarat data (lihat Dibalik Potensi Kandungan Migas di Timor Gap, halaman 7; Deal of The Century, 95). Yang lebih menariknya, banyak kalangan menyatakan cadangan minyak dicelah Timor tidak ada sama sekali justru, ironisnya disampaikan oleh pejabat pemerintah yang membidangi sektor energi.

Kisah lain yang mengubah posisi tawar negara-negara Arab terhadap dunia Barat juga terjadi ketika kekuatan politik minyak ini memporak-porandakan perekonomiannya. Pada tahun 1973, negara-negara Arab dengan cerdik menggunakan senjata minyaknya (oil weapon) untuk melawan negara-negara yang mendukung agnessor Israel dan melawan perang ekonomi (economic war). Pasokan ke AS dan Negara-negara Barat yang diidentifikasikan sebagai pendukung Israel dipangkas hingga 25%. Dampaknya sudah ditebak, sebagian negara mengalami kelumpuhan ekonomi dan harga minyak meroket hingga lima kali lipat dari USD 2,5 hingga USD 11,5 seperti yang diulas dalam artikel Sekilas Mungukur Kekuatan "Oil Weapon". Dideskripsikan bagaimana minyak berperan sebagai sebuah kekuatan yang lebih efektif dari mesin-mesin perang konvensional. Hingga akhir tahun 1975, tercatat tak kurang dari 25.000 transaksi bisnis yang mewakili 90% perusahaan AS terpaksa dibatalkan, Inggris terpaksa mengurangi rasio perdagangannya 10:1 ke Israel, Jerman barat membatalkan investasi 10.000 unit kendaraan ke Israel, 336 perusahaan Perancis masuk daftar hitam, 150 perusahaan Jepang juga diboikot, nasib serupa dialami pula oleh koleganya dari Italia, Belgia, dan Spanyol. "Dunia jangan pernah melupakan bahwa senjata Negara Arab, oil weapon, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan senjata nuklir," demikian pernyataan keras Ismail Fahmi, Menteri Luar Negeri Mesir kala itu. Dan senjata itu dapat digunakan lagi sewaktu-waktu jika situasi membutuhkan.

Ketika Amerika Serikat menyerang Irak untuk kedua kalinya pada tahun 2003, dibalik semua alasan pembenaran untuk menyerang Negara Teluk itu, seperti berkomplot dengan teroris hingga menyimpan senjata pemusnah massal – yang belakangan ternyata diakui tidak terbukti kebenarannya ternyata minyak adalah bagian dari kisah dibalik layar yang menjadi pemicunya, dan itu telah diuraikan oleh Dirgo sebulan sebelum AS menyerang Irak, pada artikel berjudul "Haruskah AS menyerang Irak?"

Data yang diungkapkan oleh geolog terkemuka menyebutkan bahwa Irak ternyata menyimpan potensi kandungan minyak sebanyak 112 miliar barel, yang menempatkan Negara itu sebagai penghasil minyak nomor dua setelah Arab Saudi. Sebagaimana diketahui, bahwa 45% kebutuhan minyak dalam negeri Amerika dipasok dari Timur Tengah.

Minyak Sebagai Simbol Kekuatan Bangsa

Jika pada Perang Dunia I minyak disetarakan kedudukannya dengan darah prajurit, maka dalam Perang Dunia II Angkatan Perang Jepang menjadikan minyak sebagai sebuah symbol kekuatan dan kelangsungan (symbol of power and continuity) ketika mereka berhasil menguasai ladang-ladang minyak di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan sebagian Malaysia. Terhentinya langkah Jepang mewujudkan inpian negara Asia Raya juga terpotong oleh pasokan energi (shortage energy), nasib serupa juga dialami tentara ke 3 dibawah pimpinan Jenderal Patton yang terpaksa menghentikan penyerbuan ke Jerman (1944) lantaran kehabisan minyak. Dari catatan sejarah itu, tak pelak lagi bahwa minyak adalah salah satu symbol kekuatan bangsa.

Lantas bagaimanana dengan Indonesia? Sebagai salah satu negara produsen minyak, adalah suatu kewajiban bagi Indonesia untuk mengamankan pasokan energi dalam negerinya. Dalam beberapa tulisan dibuku ini disorot juga pentingnya pengamanan energi untuk memperkuat pertahanan dan keamanan nasional yang dapat kita temukan dalam Pengamanan Sumber Energi untuk Kepentingan Nasional Indonesia; Sukhoi, Aceh dan LNG dalam Kepentingan Nasional dan beberapa artikel lainnya.

Harus diakui, setiap tulisan dalam buku ini ditulis dengan bingkai nasionalisme yang sangat kuat, semata-mata pesan yang disampaikan selalu untuk kepentingan nasional Indonesia. Beberapa pandangannya yang tertuang dalam tulisannya mungkin agak terasa kontroversial karena bertentangan juga dengan beberapa kelompok tertentu. Penulis dengan sangat tegas dan gamblang menolak usul penghapusan Komando Daerah Militer (KODAM), terutama di wilayah-wilayah Indonesia kaya minyak dan sumber daya mineral dengan alasan pada tahun-tahun kedepan bila dilihat dari segi pertahanan dan keamanan negara sepertinya bila KODAM dihapuskan akan mempunyai potensi untuk lemahnya ketahanan nasional Indonesia serta akan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia dikemudian hari.

Gunakan Kekuatan Minyak Untuk Pemulihan Ekonomi.

Tumpukan hutang luar negeri Indonesia yang rasanya terus bertambah tiap tahun, selalu membuat para teknokrat yang membidangi sektor ekonomi berupaya mencari jalan keluar. Dan hutang luar negeri yang semuanya dalam bentuk mata uang dolar(atau mata uang luar negeri lainnya) itu mempunyai kecenderungan terus membengkak disatu sisi, lantaran mata uang rupiah ada kecenderungan bergerak terus melemah. Padahal, sebagaimana diungkapkan dalam beberapa tulisan buku ini, solusinya ada di depan mata. Hanya saja sepertinya ada unsur-unsur yang tidak menghendaki untuk digunakan dikarenakan berbagai alasan dan pertimbangan. Dalam artikel Menuju bangkitnya Ekonomi Indonesia, ada satu pemikiran menarik yang sangat mungkin dapat diterapkan yakni dengan menetapkan peraturan pembayaran minyak dan petroleum produk dalam bentuk mata uang Rupiah dan harus dibayarkan melalui bank Indonesia (BI), serta harus diendapkan dalam waktu sebulan sebelum dana tersebut dicairkan. Nantinya diyakini, dengan memberlakukan system pembayaran ini akan terjadi suatu "rush" untuk permintaan Rupiah.

Mekanisme pembayaran ini, menurut penulis, sebetulnya hanya mengadopsi peraturan transaksi bisnis yang berlaku selama ini, di mana setiap pembelian minyak mentah atau petroleum products selalu menggunakan mata uang dolar yang dibayar dan diendapkan terlebih dahulu di Federal Reserve New York. Mekanisme ini dipastikan akan menguatkan mata uang Rupiah karena akan meningkatkan permintaan terhadap rupiah dalam jumlah besar secara rutin. Penilaian, Dirgo atas gagasan ini tidak lain bahwasanya sebagai negara produsen minyak tentunya punya hak otonomi penuh.

Ada juga gagasan alternative lain yang dapat menguatkan mata uang Rupiah, jika persyaratan seperti diatas diberlakukan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang duduk sebagai participant interest di ladang-ladang minyak berproduksi, secara otomatis permintaan atas rupiah akan meningkat sangat signifikan. Salah satu contoh kecil; bila BUMD yang terlibat di CPP block di Pekanbaru menjual jatah produksinya yang sebesar 14.000 barel minyak perhari dengan harga rata-rata USD 31, maka pada kurs Rp. 8.700,- akan ada transaksi sebesar Rp.113 miliar setiap bulannya. Bayangkan jika para oil traders diwajibkan untuk transaksi serupa setiap bulannya dengan Rupiah lantas uangnya diendapkan rata-rata satu bulan di BI, maka bisa dipastikan mata uang Rupiah secara bertahap akan menguat sehingga secara umum dapat mengurangi biaya-biaya operasional listrik, telephone, BBM dan gagasan itu akan bermuara dengan akan terciptanya suatu daya beli yang kuat bagi masyarakat. Dari titik sini, Dirgo berkeinginan untuk mengangkat nilai-nilai strategi ekonomi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dan masih banyak lagi gagasan-gagasan yang sangat kreatif mengalir dalam tulisan-tulisan ini seperti bagaimana memanfaatkan dana APBN untuk mendukung kegiatan pengeboran di ladang-ladang bekas PSC (Production Sharing Contract) yang dikelola secara professional dan efisien (Ladang Minyak "Baby Elepant" Menuju Pemulihan Ekonomi) artikel ini muncul sebagai respon terhadap rendahnya tingkat kesuksesan BPPN yang Cuma 1,07% ketimbang potensi keberhasilan di eksplorasi dan produksi sumur-sumur bekas PSC yang dapat mencapai 30%; atau menerapkan strategi Last Tranche Petroleum (LTP) ketika produksi minyak berada di tengah-tengah antara puncak produksi dan field economic limit. Dengan menerapkan LTP, secara otomatis penyerahan kembali pengelolaan ladang minyak ke Pertamina bisa dilakukan lebih awal, sehingga Indonesia bisa mendulang lebih banyak keuntungan ketimbang ditunggu sampai produksinya betul-betul habis; di sisi lain, Indonesia juga dapat meningkatkan kemampuannya untuk menciptakan produk minyak bernilai tambah tinggi (Petroleum Coke, 43). Dalam pengamatannya mengenai kasus Blok Ambalat ternyata Dirgo telah menyinggungnya dalam tulisannya di Jurnal Paskal (Maret 2004-Jurnal PASKAL- yang berjudul Intelijen Dalam Kepentingan Nasional) dan juga dimuat pada Jurnal Intelijen, Kontra Intelijen (Januari Edisi No.4 – 2005) Begitu banyak artikel menarik yang terangkum dalam buku ini, yang dapat dipahami sebagai fragmen yang terpisah-pisah, namun setelah dibaca dalam sebuah kesatuan ternyata mempunyai makna yang saling terhubung untuk kepentingan nasional Indonesia. Satu benang merah yang menyatukan semua tulisan ini ialah ; minyak yang merupakan komoditi sangat strategis adalah symbol kekuatan bangsa, disanalah semua kepentingan nasional dari pada suatu negara di pertaruhkan. Membaca tulisan-tulisan ini membuat kita tersentak dan diingat ; Indonesia sudah terlena terlalu lama hidup dalam paradigma orang lain, sekaranglah saatnya untuk bangkit dan berdiri diatas kaki sendiri.

Diterbitkan Oleh





Tidak ada komentar: